Selasa, 27 September 2011

CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE


Snouck Hurgronje, lelaki berkewarga-negaraan Belanda dan pernah menjadi guru besar di Universitas Leiden. Snouk lahir pada tahun 1857, ayahnya adalah seorang pendeta. Pernah tinggal di Aceh dan pergi untuk mempelajari Islam di makkah selama 6 bulan. Kemudian mengganti namanya dengan “Abdul ghaffar Snouck al-hulandy”. Ia mempelajari Islam pertama kali kepada M.J. de Goeje, dan mempelajari teologi kepada guru taurat bernama Abraham Kuenen.
Dr. Snouck Horgronje adalah tokoh yang paling berjasa dalam upaya mengkristenkan umat Islam Indonesia, metode yang dijalankannya adalah dengan “ghazwul Fikr” atau penjajahan pemikiran.  Dalam catatan Atjeh Versleg (catatan aceh) salah satu caranya ialah  menukar politik Islam dengan hukum-hukum adat seperti yang ia kehendaki dan memberlakukan ajaran Islam sebatas di surau-surau dan madrasah belaka.
Dr. Qasim assamurai-seorang penulis Mesir-pernah brkata “menurut responden yang dapat dipercaya dari Indonesia disebutkan bahwa Snouck menipu seorang camat dengan pengakuan keislamannya dan mengawini putri camat tersebut. Dari Istrinya, dia memperoleh beberapa oranganak dan yang sulung bekerja pada satu jabatan penting dalam kepolisian di Indonesia. Kami yakin akan kebenaran informasi ini karena bertemu dengan seorang cucu Snouck secara pribadi denga ditemani Sjord van Koningsveld di Leiden. Tidak ada keraguan bahwa Snouck pandai memainkan peran dihadapan istri dan anak-anaknya, seperti kepandaiannya memainkan peran ditengah kebanyakan umat Islam yang menganugerahkan kepadanya kecintaan lalu dkhianatinya sendiri”
Sewaktu di mekkah snouck memiliki hubungan dekat dengan ulama-ulama asal jawa, sumatera dan aceh. Bahkan ia memiliki hubungan khusus dengan mufti mekkah saat itu yakni Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan.
Salah satu penyebab ia mudah diterima oleh rakyat aceh ialah karena ia dibekali surat rekomendasi dari syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, yang belakangan disalah gunakannya.
Ke-Islam-an Christian Snouck Horgronje memang bertujuan untuk menghancurkan umat islam. Hal ini bisa dilihat dalam salah satu catatan yang berjudul De Atjehers (orang-orang aceh) yang mengungkapkan sepak terjang Snouck saat mengelabui umat Islam, catatan tersebut mengatakan sebagai berikut:
“tidak ada yang termudah dalam perpindahan dari satu agama ke agama lain seperti mudahnya perpindahan ke Islam. Seseorang dapat menjadi anggota umat Islam dan tetap demikian tanpa dibebani mengemukakan satu pembuktian tentang itikadnya atau pengetahuannya pada syariat atau tentang keikhlasannya. Pengucapan dua kalimat syahadat menjadi seseorang sebagai anggota dalam umat Islam, tidak seorangpun umat Islam berhak meragukan keikhlasan syahdat itu.”(De Atjeheres,Batavia-Leiden,II, hal.305,1894)
Pernyataan Snouck  itu jelas pula terlihat dari sambutan para orientalis seperti Koningsveld dalam sebuah presentasinya dengan mengatakan bahwa Snouck telah mempersembahkan dirinya sebagai penebus Isa Almasih. Juga Frank schroder yang memperlihatkan antusiasmenya terhadap Snouck dengan mengatakan” kita, sekalipun mengakui Snouck menaruh hormat kepada Islam, namun politik Islamnya adalah penolakan terhadap kandungan politik Islam.”(J.Dreewes,the Legatum Warnerianum of Leiden university library dalam Leninus Warner and His Legacy, Leiden, hal.28,1970).

M.NATSIR MENCARI MODUS VIVENDI ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA-4 Oktober 1967



Pada hari pertama Natsir kembali ke tanah air dari misi muhibbah-nya selama kira-kira dua bulan di Timur Tengah, di tempat kediamannya di Jakarta telah”diserbu” oleh wartawan “Sinar Harapan”di Jakarta yang berafiliasi Kristen-J.Lasut- berkenaan dengan berita pengrusakan gereja-gereja di Makasar. Kita mendapat kehormatan untuk menghadiri wawancara yang simpatik itu bersama seorang wartawan kantor berita KNI.
Ketika ditanyakan Lasut bagaimana pendapat Natsir tentang pengrusakan gereja-gereja di Makasar itu, dengan spontan beliau-Natsir- menekankan bahwa kejadian itu merupakan satu ekses. Begitu pula kegiatan-kegiatan mengkristenkan orang-orang Islam adaalah satu ekses.Pancasila menentukan adanya kebebasan menganut agama antara Islam,Kristen Protestan, katolik dan Hindu bali.ini bukan berarti mengkristenkan orang-orang islamitu sesuai dengan Pancasila. Kalau toh mau berlomba-lomba mengembangkan agama masing-masing itu, silakan dilakukan dikalangan bangsa indonesia yang belum menganut sesuatu agama.
Platform Pancasila menghendaki adanya saling harga-menghargai diantara golongan-golongan agama-agama itu. Kalau orang islam dikristenkan itu adalah bertentangan dengan prinsip itu.
Kalau disuatu lingkungan masyarakat hampir tidak ada dijumpai orang-oranng kristen, seperti di Meulaboh-Aceh, kemudian akan didirikan suatu gereja yang megah, menjadi pertanyaan sekarang apakah masih ada harga-menghargai seperti yang dimaksud oleh Pancasila itu?
Supremasi atau kekuasaan mutlak dalam materi dan keuangan pihak kristen, yang dipergunakan untuk mengkristenkan orang-orang Islam yang lenah dan miskin dalam kebendaan melukai hati kaum muslimin. Kebebasan seperti itu adalah suatu ekses, sebagaiman pengrusakan gereja-gereja yang dimaksud itu juga adalah suatu ekses pula. Dan kalau hal seperti itu diteruskan, maka berakhirlah Pancasila sebagai platform atau mimbar bersama.
Pengrusakan gereja-gereja itu sudah tentu sudah tentu melukai kaum kristen, tetapi jangan dilihat persoalan itu dengan suatu symptomatic approach, dengan sekedar melayani gejala yang keliatan. Tetapi persoalannya dilihat secara causal approach, yaitu hubungan sebab dan akibat.
Ibarat orang yang sakit malaria, Kepalanya panas, lantas diberi kompres dengan es,tidaklah akan menhilangkan penyakit malaria itu.
Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama, yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang yang beragama lain.
Tetapi kalua pihak kristen yang unggul dalam materil dan intelektual mengkristenkan orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius.
Satu contoh supremasi materiil itu, misalnya membagi-bagikan beras kepada oran-orang Islam didaerah Yogyakarta yang miskin dan melarat dengan menganjurkan mereka yang telah disuapi dengan beras ituagar masuk kristen.
Menurut agama Islam, orang Islam yang masuk Kriten itu adalah Murtad.
Dan percayalah, kalau orang-orang seperti itu lahirnya masuk kristen adalah merka itu munafik kristen, sebab jadi Kristen karena beras. Dan hentikan segera melahirkan golong-golongan munafik beragama lain.
Dan Natsir denga tegas menyatakan, supaya identitas orang-orang Islam jangan diganggu.
Perdamaian Nasional  hanya bisa dicapai kalau masing-masing golong agama,disamping memelihara identitas masing-masing juga pandai menhormati identitas golongan lai. Dan hentikan segera melahirkan golongan-golongan munafik beragama lain.
Dan terhadap bangsa-bangsa asing yang mau membantu rakyat Indonesia, kalu betul-betul jujur, mengap diserahkan melalui misonaris-misonaris asing Kristen atau Katolik? Jangan diadakan zending asing yang campur tangan memecah kedamaian umat islam dan kristen di tanah air kita.
Sebagi contoh pula, natsir menanyakan, apa artinya penjualn-penjualan mentega yang memakai tanda dan semboyan Advent, sedangkan metega tersebut dijual dengan jauh lebih murah dari harga pasaran?hal itu menimbulkan kejengkelan dikalangan umat islam yang sadar.
Dan kalau kejengkelan seperti itu sudah menupuk dan tidak bisa mencari jalan keluar, maka akibatnya susah menyelesaikanya.
Dan Natsir menambahkan agar jiwa kristus yang begitu murni jangan dipakai untuk tujuan yang tidak murni dan ikhlas. Jangan itu sampai menjadi suatu peaceful agression,suatu penyerangan semboyan damai. Tindak tanduk seperti itu segera harus dihentikan oleh pihak kristen.
Dan akhirnya Natsor mengatakan, coba beritahu kepada saya,adakah kalangan Islam yang mencetak buku-buku Islam dan membagi-bagikannya dengan gratis atau dengan harga yang amat murah, tetapi dengan cara setengah paksa kepada keluarga-keluarga kristen atau katolik, sebagaiman yang setiap kali dilakukan oleh orang kristen dan katolik terhadap rumah tangga-rumah tangga Islam?
Ini juga satu ekses yang tiap hari terjadi dan melukai hati kaum muslimin, apabila yang dipaksakan oleh mereka membeli itu, adakalanya ulama-ulama atau guru-guru mengaji dari kalangan kaum muslimin itu. Jadi KETERLALUAN DIMAKASAR ITU JUGA HARUS DILIHAT DARI EKSES-EKSESYANG BERFAKTA DI ATAS INI.

Lagi-lagi Mencari Modus Vivendi

Dalam bulan Mei 1969, sebuah gereja di slipi-Jakarta, tiba-tiba dibakar oleh jama’ah masjid Slipi, langsung selesai shalat Jum’at.
Dalam majalah mingguan Mimbar Demokrasi yang mewawancarainya mengenai peristiwa tersebut, Natsir menekankan lagi apa yang dikemukakannya dua tahun sebelumnya, dalam hubungandengan peristiwa yang serupa,bahwa peristiwa tersebut harus dihadapi dengan Causal Approach, bertitik tolak dari hubunga sebab dan musababnya. Bukan dengan symptomatic approach, cara melayani gejal demi gejala, saban kali terjadi.
Sebagi sebab hakiki dari timbulnya petentangan-pertentangan itu, Natsir menyebutkan usaha-usaha mengkristenkan orang islam oleh golongan Kristen. Kristenisasi dalm bentuk program sistematis serta disokong oleh kekuatan keuangan dan materiil yang nyat nyata tidak dapat diterima oleh umat Islam yang menjadi sasarannya. Sebab itulah umat Islam berkali-kali memprotes kepada pemerintah agar usah-usaha mengkristenkan oarng Islam ini- misalnya dengan mendirikan gereja-gereja dilingkungan penduduk yang mayoritas beragama islam- dihentikan sama sekali. Dengan pendirian gereja slipi misalnya, kecuali didaerah itu sudah ada 5 gerejauntuk 350 orang kristen diantara 35.650 orang islam lainnya, maka pendirian gereja itupun tidak ada izin dari Gubernur DKIJaya serta telah diperintahkan untuk dihentikan pembanginannya oleh Walikota Jakarta Barat dan Koramil setempat.terhadap protes-protes umat Islam dan larangan Pemerintah setempat pihak Kristen sama sekali tiak mengacuhkannya, pemerintah tidak mengambil tindakan.
Perasaan tidak berdaya, apabila terjadi hal semacam itu maka umat islam akan dihinggapi oleh “feel powerlessness”, suatu perasaan tidak berdaya , seolah-olah tidak ada pelindungan dan jaminan hukum terhadap  kepentingan (keyakinan) mereka dari pelanggaran lain. Dan apabila perasaan tidak berdaya itu timbul, maka umat Islam itu akan mengambil tindakan-tindakan bersifat fisik seperti terjadi di Slipi itu.
Mohammad Natsir mangakui, bahwa tindakan fisik itu melanggar hukum. Tetapi pelanggaran  hukum itu, kata Natsir “tidak akan terjadi sekiranya tidak terjaadi pula pelanggaran hukum terhadap pemerintah setempat oleh pihak Kristen”. Dalam hal ini Natsir menyesalkan sikap pemerintah yang baru bertindak setelah terjadi insiden, bukannya bertindak sebelumnya.
Bagaimana pendapat bapak tentang pendapat sementara pihak, bahwa hak asasi manusia berpindah agama? Demikian “MD” bertanya.
Mohammad Natsir membenarkan kemungkinan berpindah agama dari seseorang itu bisa terjadi. Islam pun mengakui adanya, dengan dikenalnya Istilah “orang-orang munafik”. Tetapi Islam, kata Natsir tidak dapat menerima apabila usaha mengkristenkan ataupun usaha de-islamisir umat islam denga suatu program yang agresif sifatnya. Natsir pun bertanya,”kenapa justru umat islam yang dijadikan sasaran dari Kristenisasi ini, Tidak bangsa indonesia yang masih belum memluk suatu agama atau mengkristenkan orang kristen itu sendiri? Misalnya terhadap orang-orang kristen di barat dan Amerika yang sekarang ini sedang dilanda keruntuhan moral dn akhlak. Sehingga sampai-sampai Presiden Nixon memerlukan untuk mempunyai suatu program untuk memerangi keruntuhan moral itu. Memerangi “crime and sex” memerangi “permissiveness” atau gejal hidup bebas tidak terbatas didalam kesusilaan. Dalam hai ini, “dimana  kegiatan isi zending  itu?” tanya Natsir pula.

Tiga Saran Untuk Tiga Pihak

Untuk menghindari agar insiden-insiden itu tidak terulangi lagi Mohmmad Natsir menyarankan agar:
1.       Golongan Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk “membawa perkabaran injil sampai ke ujung dunia” supaya menahan diridari maksud dan tujuannya dari program Kristenisasi itu.
2.       Orang Islam pun harus dapat menahan diri, jangan cepat-cepat untuk melakukan tindakaan-tindakan fisik.tapi ini hanya bisa, apabila orang Kristen pun dapat menahan diri.
3.       Sementara itu pun Pemerintah harus bertindak cepat dalam hal pihak Kristen telah tidak mematuhi larangan-larangan pemerintah, agar pada orang Islam tidak timbul perasaan tidak berdaya, seolaoh-olah mereka tidak mendapat perlindungan dan jaminan hukum terhadap rongrongan pihak lain.
Untuk dapat menciptakan kehidupan berdampingan secara damai itu, Natsir menanyakan”dapatkah kita sebagai warga Negara yang beragama Kristen dan Islam sama-sama mengadaka modus vivandi atau tidak?
Dan apabila modus vivendi ini sudah ada, kata Natsir “maka akan banyak yang dapat dilakukan umat Kristen dan Islam. Umpamanya menghadapi Atheisme, ataupun untuk menahan keruntuhan akhlak yang tengah melanda masyarakat kita dewasa ini, serta sama-sama berusaha untuk memulihkan kesucian dan budi pekerti yang sesuai dengan warga negara RI yang beragama. Alangkah baiknya, lanjut Natsir “ jikalau antara golongan Islam dan Kristen timbul kesadaran bahwa sebagai umat beragama mereka harus bahu-membahu menanggulangi pemulihan hidup bersusila dan bermoral dalam masyarakat kita sebagai proyek bersama.
Ini, kata Natsir”lebih segar dari pada menjadikan yang satu sebagai sasaran yang lain, seperti yang berlaku sekarang ini.
(MIMBAR DEMOKRASI, No.85, Thn III, minggu III, Mei 1969)