Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965 tidak terlepas
dari melemahnya kekuatan Islamis dan semakin condongnya rezim Soekarno pada
komunisme. Kesempatan besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Partai Komunis
Indonesia untuk merebut tampuk kekuasaan dalam rangka mencengkeram Republik
dengan paham atheisme dan komunisme.
Jauh sebelum
memiliki kesempatan untuk memberontak secara nasional, PKI memiliki musuh yang
tangguh, yakni kelompok yang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia
dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PDRI dan PRRI) . Kami nukilkan
secara utuh sejarahnya dari Majalah Suara Hidayatullah edisi November
2008.
PDRI
terbentuk, ketimpangan antara daerah dan pusat malah mencolok. Pusat acuh tak
acuh kepada daerah. Protes pun menjadi marak
Dalam
untaian sejarah Indonesia, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dan
PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tak bisa dipisah satu sama
lain. Kedua peristiwa ini bagai mata rantai yang saling melengkapi.
PDRI
dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittingi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin
Prawiranegara. Sedang PRRI dicetuskan 10 tahun kemudian, tepatnya tanggal 15
Pebruari 1958, di Padang, Sumatera Barat, oleh Ahmad Husein. Syafruddin sendiri
kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan yang baru ini.
Ihwal
terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan
menduduki ibukota negara yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Ketika itu,
Belanda juga menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Beberapa jam
sebelum ditawan, Soekarno sempat menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran
RI yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Surat
itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI. Tanpa ada
hambatan, sehari setelah itu, pemerintahan darurat terbentuk.
Perjalanan
PDRI selanjutnya jelas tak mulus. Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu
Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan
terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat.
Upaya
Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata
berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata
internasional untuk mengakui kedaulatan RI.
Agresi
militer Belanda berhenti. Soekarno dan Hatta dibebaskan. PBB mengakui
kedaulatan Indonesia.
Seiring
keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy anding yang
mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, Syafruddin
berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden
Soekarno.
Di Lapangan
Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan
masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi
menyelamatkan PDRI. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik
masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup.
Sejarawan Dr
Mestika Zed menyatakan, negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa
PDRI. “PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara
sebagai bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara dari ancaman
disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah tugasnya
selesai.” kata Mestika.
Pengembalian
mandat PDRI oleh Syafruddin kepada Soekarno ternyata bukan awal bagi
terwujudnya pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita proklamasi. Sebaliknya,
ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah kian menganga.
Ketika
Presiden Soekarno menggulirkan proyek pembangunan Tugu Monas serta
berhala-berhala lain di Jakarta, rakyat di daerah, baik di Jawa maupun di luar
Jawa, justru kian dibelenggu oleh kemiskinan, kelaparan, dan didera penyakit
tukak dan cacing tambang.
Akibat ketimpangan itu, gelombang ketidakpuasan di daerah mulai membesar. Di
Bukittinggi, bekas ibukota PDRI, misalnya, untuk pertamakali terjadi unjuk rasa
yang diikuti 10 ribu orang. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Demontrasi
Nasi Bungkus”.
Istilah
“Nasi Bungkus” menggambarkan simbol bahwa rakyatlah yang dulu mendukung tentara
dengan logistik sehingga tetap bisa mempertahankan PDRI hingga bangsa ini bisa
terselamatkan.
Berawal dari
Dewan Banteng
Bersamaan
dengan kian memuncaknya protes atas ketimpangan pembangunan wilayah pusat dan
daerah, pada Desember 1956 berdirilah Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan
Gajah di Sumatera Utara, dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Bermunculannya
dewan-dewan itu merupakan wujud ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat
atas penciutan struktur militer dan kian diberi tempatnya PKI di pemerintahan.
Saat itu Soekarno dinilai lebih condong ke “kiri“.
Menurut
Kahin (1979), Resimen 6 Devisi IX Banteng sebelumnya merupakan pasukan terbaik
di Sumatera. PRRI kala itu menunjuk Ahmad Husein sebagai panglima pasukan ini.
Namun, nasib Divisi Banteng menjadi kucar-kacir ketika pemerintah Soekarno
melaksanakan penyerderhanaan struktur militer secara nasional.
Kemudian,
perwira Akademi Militer Hukum di Jakarta, Jusuf Nur dan Djamhuri Djamin,
pengusaha Ramawi Izhar, serta Badar Gafar dari pusat pendidikan infanteri,
berencana menggelar reuni mantan Divisi Banteng, baik yang masih aktif maupun
yang tidak.
Rencana
reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan. Pertama, di Jakarta pada 21
September 1956. Kedua, di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956.
Reuni
akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni ini
membahas masalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah.
Reuni
dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan. Reuni membuat sejumlah
rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan
radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian
perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera
Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan
tuntutan Dewan Banteng.
Selain itu
dibentuk pula dewan yang bertugas menindaklanjuti dan memperjuangkan hasil
reuni ini. Dewan tersebut bernama Dewan Banteng, terdiri dari unsur militer,
pemerintah daerah, alim ulama, dan pemuka adat. Jumlahnya ada 17 orang, mengacu
pada semangat proklamasi 17 Agustus 45.
Tetapi oleh
PKI dan sebagian tokoh PNI, rumusan perjuangan Dewan Banteng itu dicap sebagai
pemberontakan. Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan
ini. Ia berpidato di depan corong Radio Republik Indonesia Padang, mengutarakan
bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, justru untuk membela
keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi.
Dewan
Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan
konstituante. Soekarno juga dikecam karena kian memihak kepada komunis.
Puncaknya adalah mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember
1956. Ia tidak setuju dengan cara Soekarno mengatasi keadaan negara.
Sayangnya,
peristiwa itu tak membuat Soekarno mengoreksi sikapnya. Malah, aksi pelemparan
granat pada malam 30 Nopember 1957, di saat Soekarno menghadiri ulang tahun
sekolah Cikini, tempat anaknya bersekolah, dijadikan alasan untuk menangkapi
lawan-lawan politiknya dan mengeluarkan Dekrit Presdien 5 Juli 1959. Dekrit ini
berisi permintaan agar konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan.
Pasca
peristiwa Cikini, Jakarta menjadi bara api yang setiap saat siap membakar para
lawan politik Soekarno, terlebih bagi siapa saja yang sejak awal telah
menentang keberadaan PKI. Surat kabar yang menjadi corong PKI seperti Harian
Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan Harian Pemuda menuding sejumlah tokoh
politik dari partai Masyumi dikait-kaitkan dengan peristiwa Cikini. Mereka
kemudian diteror dan diancam akan dihabisi.
Rumah
Mohammad Rum sempat dikepung massa. Untunglah Rum dan keluarganya selamat.
Demikian juga rumah Natsir. Para politisi dari partai Masyumi merasa tidak aman
lagi tinggal di Jakarta. Satu demi satu mereka ‘hijrah’ ke daerah. Bahkan,
Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI),
turut hijrah ke Padang.
Jadi,
kedatangan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap
ke Padang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan terbentuknya Dewan Banteng
atau berbagai gerakan protes yang sedang marak di daerah.
“Pak Natsir
dan sejumlah tokoh Masyumi murni mengungsi ke daerah untuk menyelamatkan diri
dari aksi penculikan,” ungkap Dt Tankabasaran, pengawal Natsir pada waktu itu.
Namun,
Soekarno tidak peduli. Para tokoh Masyumi tetap dianggap ikut memberontak.
Pemberontakan
Setengah Hati
Tokoh
Masyumi mampu meredam keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI.
Namun, Soekarno tetap menilainya sebagai pemberontak.
Gagasan
melawan Soekarno yang dituduh kian condong pada PKI semakin menguat ketika para
tokoh militer dan politisi sipil mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh,
Sumatera Barat. Rapat rahasia itu berlangsung dalam dua putaran.
Putaran
pertama tanggal 8 Januari 1958, dihadiri tokoh-tokoh militer plus seorang
politisi sipil Soemitro Djojohadikoesoemo. Rapat putaran pertama ini penuh
semangat ‘kemarahan’ kepada pemerintah pusat. Bahkan, sempat terlontar beberapa
kali ancaman akan memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara Sumatera jika
pemerintah pusat tak mau berbenah.
Untunglah,
dalam rapat kedua tanggal 10 Januari 1958, tokoh sipil seperti Muhammad Natsir,
Syafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap, bisa meredam keinginan itu.
Pertemuan tertutup yang disebut rapat rahasia Sungai Dareh itu cuma
menyempurnakan susunan pengurus Dewan Perjuangan.
Sebulan
setelah rapat rahasia berlangsung, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1958, Ahmad
Husein, selaku Ketua Dewan Perjuangan, menyampaikan ultimatum kepada
pemerintahan Soekarno melalui Radio Republik Indonesia Padang. Ultimatum yang
disebut Piagam Perjuangan ini berisi 8 poin tuntutan. Intinya, menuntut agar
dalam waktu 5 x 24 jam sejak diumumkannya ultimatum ini, presiden segara
membubarkan Kabinet Djuanda.
Tuntutan
lainnya, pemerintah harus membentuk Zaken Kabinet Nasional yang jujur dan
bersih dari unsur-unsur PKI. Kemudian, Soekarno harus memberi dukungan kepada
Zaken Kabinet, dan Hatta bersama Hamengku Buwono harus diberi mandat untuk
bertugas di Zaken Kabinet ini.
Jika
ternyata Soekarno enggan memenuhi tuntutan ini dan tidak memberikan kesempatan
kepada Zaken Kabinet untuk bekerja, maka Dewan Perjuangan menyatakan terbebas
dari kewajiban taat kepada Soekarno sebagai kepala negara.
Tak ada satu
kalimat pun dalam ultimatum yang menyatakan bakal memisahkan diri dari Republik
Indonesia. Saat ditanya oleh Kapten Zaidin Bakry apa yang akan dilakukan Dewan
Perjuangan ke depan, Husein sama sekali tak menjawab bakal mendirikan negera
sendiri. Ia hanya menjawab, “Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai
kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”
Namun,
ultimatum yang hanya sekadar ”gertakan sambal” itu tidak membuahkan hasil. Esok
harinya, 11 Februari 1958, di Jakarta, Djuanda mengumumkan menolak ultimatum
Dewan Perjuangan. Bahkan, ia memerintahkan KSAD untuk memecat Letkol Ahmad
Husein dan Kolonel Simbolon dari kemiliteran, membekukan Komando Daerah Militer
Sumatera Tengah (KDMST), serta memutuskan hubungan darat dan udara dengan
Sumatera Tengah.
Sikap yang
ditunjukkan Djuanda ini jelas memberi jawaban bahwa ultimatum tak akan
dipenuhi. Bahkan, Djuanda memberikan reaksi yang sangat keras.
Itu berarti,
tak ada lagi jalan menuju negosiasi. Tindakan harus segera dilakukan. Maka,
pada tanggal 15 Pebruari 1958, Husein segera membentuk ”kabinet tandingan” yang
berkedudukan di Padang. Mereka juga mengumumkan tak mengakui lagi kabinet
Djuanda.
Kabinet baru
itu bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam kabinet
itu, Mr Syafruddin Prawiranegara diamanahi sebagai Perdana Menteri merangkap
Menteri Keuangan. Maludin Simbolon menjabat Menteri Luar Negeri., Kolonel
Dahlan Djambek menjabat Menteri Dalam Negeri. Mr Burhanuddin Harahap menjadi
Menteri Pertahanan sekaligus Menteri Kehakiman. Dr Soemitro Djojohadikoesemo
menjabat Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Adapun
Menteri Agama dijabat Saleh Lintang. Menteri Penerangan dijabat Saleh Lahade.
Menteri Sosial dijabat A. Gani Usman. Menteri Pertanian dijabat S. Sarumpaet.
Menteri Pembangunan dijabat JF Warouw. Dan, Menteri PP&K dijabat Mohammad
Syafei.
Tak lama
kemudian terjadilah ”tragedi”. Tragedi ini berawal saat Presiden Soekarno
pulang dari lawatan ke Eropa Timur dan Peking pada 16 Pebruari 1958. Djuanda
langsung menghadap Soekarno dan melaporkan gerakan yang ia sebut
‘pemberontakan’ PRRI di Sumatera Tengah dan Permesta (Perjuangan Rakyat
Semesta) di Sulawesi. Hari itu juga keluar perintah Soekarno agar menangkap
para tokoh PRRI dan Permesta.
Ancaman
penangkapan “dijawab” oleh Ahmad Husein dengan mengelar Rapat Umum PRRI di
Padang pada 20 Pebruari 1958. Di hadapan peserta rapat, Husein menyatakan tidak
gentar dengan ancaman Soekarno. Sambil melemparkan tanda pangkatnya ke tanah,
Husein berkata, “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka
saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke
pemerintahan Soekarno.”
Beberapa
tokoh lalu menenangkan Husein. Tanda pangkat yang tadi dilempar, diambil lagi dan
dilekatkan kembali ke tempatnya.
Sejak saat
itu dukungan terus mengalir kepada PRRI. Bahkan dilaporkan, sekitar 400
mahasiswa dan pelajar Minang yang sedang kuliah di Jawa memutuskan pulang untuk
bergabung bersama Tentara Pelajar (TP), sebuah kekuatan penyeimbang terhadap
OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) dan OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) bentukan
PKI.
Dukungan
mayoritas dari masyarakat Sumatera Tengah dan Sumatera Barat terhadap PRRI
adalah wajar. Sebab, wilayah ini merupakan basis Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi
sendiri banyak yang menjadi tokoh PRRI.
Lagi pula,
di Sumatera Tengah, partai Masyumi meraih kemenangan mutlak (58 persen) pada
Pemilu 1955, jauh meninggalkan PNI, apa lagi PKI.
Para tokoh
PRRI di daerah Sumatera Tengah juga ‘menjawab’ ultimatum Soekarno dengan
melancarkan operasi penangkapan terhadap ratusan tokoh ‘kiri’ dan anggota PKI.
Mereka ditahan di tiga tempat: Muaro Labuh, Situjuh, dan Suliki.
Keesokan
harinya, tanggal 21 Pebruari 1958, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)
mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh. Operasi ini
diberi sandi “Operasi 17 Agustus”, dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Pesawat AURI
langsung menghujani Kota Padang dan Bukittinggi dengan bom. Bersamaan dengan
itu, puluhan kapal perang membombardir Pantai Padang.
Anehnya, tak
ada perlawan dari pihak ”pemberontak”. Tak ada serangan balasan meski mereka
bertubi-tubi diserang APRI. Tak ada satu pun ”pemberontak” yang berusaha
meletuskan senjatanya. Ada apa gerangan?
Rupanya
sehari setelah ”rapat rahasia Sungai Dareh” ditutup, Natsir memberi perintah
agar PRRI menerapkan ‘gerakan tanpa perang’ untuk melawan pemerintah Soekarno.
Seruan ini betul-betul diikuti.
PRRI
bukannya membalas serangan tapi justru mundur ke kampung-kampung, terus ke
hutan-hutan. Rute gerakan mundur ini tak jauh berbeda dengan rute perjuangan
PDRI dulu, yaitu belantara di sekitar Agam, Pasaman, Payakumbuh, dan Solok.
Inilah
adegan ”pemberontakan setengah hati” PRRI.
Balas Dendam
Si Palu Arit
Karena PRRI
sangat memusuhi komunis, PKI ikut serta dalam operasi penumpasan garakan ini.
Korban pun berjatuhan.
Sejatinya,
bukan hanya faktor kesenjangan yang menyebabkan PRRI lahir. Namun, hadirnya
komunis di Indonesia juga menjadi salah satu sebabnya. Ini bisa diketahui dari
ultimatum PRRI yang dikeluarkan tanggal 10 Februari 1958. Isi ultimatum
tersebut antara lain menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya
dari unsur-unsur PKI.
Nuansa
anti-PKI juga terlihat dari respon pribadi para tokoh PRRI terhadap gerakan
komunisme. Simbolon, panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan,
yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI, misalnya, sejak awal sudah menyadari
bahaya komunis mengintai Sumatera Timur.
Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan
untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka
untuk digarap.
Para buruh
yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI
(Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas
melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera
Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan
ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.
Begitu pula Saleh Lahade yang menjabat Menteri Sosial di kabinet PRRI.
Kewaspadaan perwira yang mendapat tugas mengurusi transmigrasi ini terhadap
gerakan komunis sudah ia perlihatkan lewat sebuah tulisan pada 15 Oktober 1957.
Dalam
tulisan itu ia tumpahkan semua konsep mengenai cara mengatasi problem yang
menimpa Angkatan Darat. Cara itu, menurutnya, menumpas sumber masalah yang
menyebabkan pertikaian dalam militer terjadi. Sumber masalah itu tak lain
adalah komunis. Tulisan itu selanjutnya ia sampaikan ke Panitia 7 di Jakarta.
Sedangkan
Syafruddin Prawinagera yang menjabat Perdana Menteri PRRI, Burhanuddin Harahap
yang menjabat Menteri Pertahanan, serta Natsir, adalah tokoh-tokoh Masyumi yang
memang amat keras menentang komunis.
Jadi, bisa
dimaklumi jika mereka semua kemudian bergabung dengan PRRI ketika “hijrah” ke
Padang.
Bahkan, PRRI
pernah pula mendapat bantuan persenjataan dari CIA (Central Intelligence
Agency) Amerika Serikat karena memusuhi komunis. RZ Leirissa dalam buknya PRRI
Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis menilai hubungan ini
terbangun karena PRRI dan CIA sama-sama memiliki kepentingan. PRRI memerlukan
senjata untuk menghadapai serangan pemerintah pusat, sedangan CIA perlu saluran
untuk menggertak Soekarno. Ini bisa dipahami karena Barat sangat memusuhi
komunis.
Akan tetapi, setelah AS melihat masih ada sekelompok orang yang anti-komunis di
jajaran pemerintahan, dukungan terhadap PRRI dialihkan kepada kelompok ini.
Balas dendam
Dendam PKI
kepada PRRI kian lama kian membuncah. Kesempatan untuk membalaskan dendam ini
terbuka lebar ketika terjadi operasi penumpasan PRRI. Apalagi setelah Kolonel
Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan
Komandan Operasi 17 Agustus.
Syafrudin Bahar,
dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana
Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR
(Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara
dengan sembilan batalyon tentara.
Kenyataannya, OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak
PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban
berjatuhan di Minang. Mereka semua pendukung PRRI.
Kebiadaban
kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen,
Letnan Untung (kelak memimpim kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan
anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai
ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI.
Tiap daerah
punya cerita hampir sama tentang kekejaman PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari
ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik,
tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali
lagi.
Di Mahek
Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki
hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang
bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September
1961 diberondong sampai tewas.
Dengan
adanya kasus-kasus itu, Amnesti Umum berupa pengampunan dan jaminan keselamatan
bagi anggota PRRI yang bersedia keluar hutan, seperti diumumkan Presiden
Soerkarno melalui Kepres No 332 tanggal 22 Juni 1961, omong kosong.
Kebiadaban
demi kebiadan yang dialami masyarakat Minang benar-benar menimbulkan trauma
yang mendalam sampai hari ini. Masyarakat Minang kehilangan inisiatif dan daya
kritis. Demikian parahnya rasa trauma itu sampai-sampai tradisi pemberian nama
yang berbau Minang sempat dihapus. Banyak putra Minang yang lahir pasca
penumpasan PRRI diberi tambahan nama Prayitno, Sutarjo, atau Hamiwanto.
Setelah PRRI
jatuh, posisi PKI semakin menguat. Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 30
September, partai komunis semakin berani bergerak. Enam pejabat tinggi militer
dan seorang pengawal mereka bunuh. Peristiwa ini tersohor dengan sebutan
Gerakan 30 September. Rupanya, inilah akhir dari cerita kekejaman ”Si Palu
Arit”.
copas:fimadani.com/