Minggu, 30 September 2012

Inspirasi Solusi Dari “Berita Besar”…


Salah satu solusi ini adalah hasil diskusi dengan peserta i’tikaf  yang membahas surat An-Naba’ (Berita Besar) ayat ke 16. Ayat tepatnya berbunyi “wa jannaatin alfaafa” yang oleh penterjemah Departemen Agama diartikan sebagai “dan kebun-kebun yang rindang”. Mungkin karena keterbatasan bahasa Indonesia, ayat tersebut diatas diterjemahkan sama persis dengan ayat lain yang berbunyi “wa khadaa iqo ghulba”  (QS 80 :30) yang terjemahannya juga  “dan kebun-kebun yang rindang” .

Sangat bisa jadi Allah mempunyai maksud lain ketika menggunakan kalimat yang berbeda untuk menggambarkan “kebun-kebun yang rindang” tersebut. Bisa jadi alfaafa yang menurut ustadz saya dalam bahasa arab umumnya berarti “berkumpul, bercampur baur, berdekat-dekatan” untuk meggambarkan banyaknya pohon dalam kebun dlsb.; juga berarti nama jenis tanaman tertentu ?.

Di dunia ini memang ada tanaman luar biasa yang dalam bahasa Inggris disebut Alfalfa atau dalam bahasa latinnya disebut Medicago Sativa - bisa jadi ini adalah tanaman Alfaafa dalam ayat tersebut diatas !. Karena menurut sejarah tanaman ini sudah ada sejak 6,000 tahun sebelum Masehi , dan dokumen tertua yang ada menjelaksan tentang tanaman Alfalfa ini adalah dokumen di Turki yang ditulis kurang lebih 1300 tahun sebelum masehi. Jadi tanaman Alfalfa memang ada pada saat Al-Qur’an turun !.

Terlepas dari kebenaran yang masih perlu dikaji – yaitu apakah yang disebut di Al Qur’an sebagai “wa jannaatin alfaafa” ini adalah “kebun-kebun yang rindang” secara umum, atau secara khusus diarahkan untuk kebun Alfalfa. Yang jelas tanaman Alfalfa ini memang merupakan karunia yang luar biasa dari Allah untuk umat manusia di dunia.

Karunia tersebut antara lain adalah :

1.     Akarnya yang sangat dalam masuk ketanah, selain menjadi penahan erosi yang sangat efektif juga dapat menyerap hampir seluruh unsur-unsur penting yang ada di dalam tanah.
2.     Memiliki protein yang sangat tinggi, dari sebuah riset di Kroasia, tangkai Alfalfa bisa mengandung protein sampai sekitar 18% ; dan bahkan daunnya bisa diatas 30 %.
3.     Dengan kandungan protein yang sangat tinggi tersebut, maka seluruh hewan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dlsb) akan sangat cepat tumbuh bila diberi makan dari Alfalfa ini.
4.     Bahkan daun Alfalfa memiliki kandungan klorofil yang sangat tinggi yang bermanfaat untuk kesehatan manusia.
5.     Dlsb.dlsb.

Lantas apa kaitannya tanaman Alfalfa ini dengan krisis berkurang tinggi-nya anak-anak Indonesia yang disebabkan oleh kurangnya makan daging ?.

Daging dari sapi, kambing dan lain sebagainya akan mudah dihasilkan dengan murah bila ditemukan tanaman yang mengandung protein tinggi seperti tanaman Alfalfa ini. Tidak heran negeri seperti Amerika menanam tambahan sekitar 9.2 juta hektar tanaman ini setiap tahunnya untuk makanan ternak mereka. Nilai ekonomi tanaman Alfalfa di negeri tersebut sangat tinggi ( nomor ketiga setelah jagung dan kedelai) karena menjadi sumber pakan ternak yang sangat efektif ini.

Lantas mengapa tidak kita tanam saja banyak-banyak agar kambing dan sapi kita cepat tumbuh – agar daging menjadi murah dan terjangkau oleh seluruh rakyat ?. Tidak mudah memang, beberapa pihak di tanah air sudah mencobanya tetapi belum berhasil.

Saat ini kita bisa membeli benih tanaman ini dari luar tetapi yang sudah dibuat infertile oleh produsennya. Inilah jahatnya mereka, mereka tidak menghendaki tanaman yang luar biasa ini tumbuh di negeri seperti Indonesia – agar negeri seperti kita ini tetap tergantung pada negara-negara tersebut untuk terus impor daginng dlsb.

Tetapi one way or another , kita harus bisa menumbuhkan tanaman ini banyak-banyak di negeri kita ini, agar kita bisa beternak kambing dan sapi banyak-banyak secara efisien. Agar anak-anak negeri ini mampu makan daging secara cukup kedepannya. Apalagi bila benar Alfalfa ini adalah tanaman yang disebut di surat An-Naba’ tersebut diatas, pasti manfaatnya untuk seluruh umat manusia – tidak hanya bangsa negara maju saja.

Melihat potensi yang begitu besar ini, kami mengundang para ahli dan praktisi pertanian di seluruh Indonesia – yang memiliki pengetahuan atau pengalaman langsung dengan Alfalfa ini -  untuk membantu kami membudi dayakan Alfalfa ini secara luas di Indonesia. Lahan percobaan seluas 1 s/d 2 ha sudah kami sediakan di Jonggol untuk ini; sedangkan untuk lahan produksi awal beberapa puluh bahkan beberapa ratus hektar akan kami sediakan di Jawa Timur. Kami terbuka untuk berbagai bentuk kerjasama yang baik untuk membangun kegenerasi yang kuat kedepan, generasi penghafal Al-Qur’an yang minum susu kambing secara cukup dan juga makan daging yang cukup.

Siapa tahu Anda bisa menjadi bagian dari solusi atas masalah-masalah besar yang terkait dengan sumber pangan bangsa ini kedepan. Solusi yang petunjuknya sudah begitu jelas ada di Al-Qur’an . InsyaAllah bersama kita bisa !.
copas:geraidinar.com

‘Berita Besar’ : Untuk Negeri Kita Kah…?

Sebelum sampai ayat “wa jannaatin alfaafa” (QS 78 : 16), Al-Qur’an bercerita tentang gunung-gunung  (QS 78 :7) , tentang perimbangan malam dan siang (QS 78 :10-11) , tentang sinar matahari yang amat terang (QS 78 :13) , tentang air hujan yang tercurah (Qs 78 :14), tentang berbagai biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan (QS  78 :15).

Sekarang mari kita lihat di antara negeri-negeri di dunia, negeri mana yang diberi karunia lengkap tersebut diatas ?, memiliki gungung-gunung yang banyak, malamnya seimbang dengan siangnya, matahari memancarkan sinarnya sepanjang tahun, memiliki hujan yang tercurah lebat rata-rata separuh waktu dalam setahun dan memiliki keanekaragaman tanaman yang luar biasa ? Bukankah ini sangat-sangat mirip dengan karakter negeri kita – Indonesia ?.

Negeri Arab tempat diturunkannya Al-Qur’an tidak memiliki gunung-gunung yang banyak, tidak banyak air hujan yang tercurah, dan apalagi tanaman – sangat sedikit yang tumbuh disana dibandingkan dengan apa yang ditumbuhkan oleh Sang Pencipta untuk negeri ini.

Peta Gunung Berapi Dunia
Peta Gunung Berapi Dunia

Negeri-negeri yang saat ini memimpin dunia dengan teknologi, ekonomi, politik dan militernya saat ini rata-rata berada di belahan bumi utara, kebanyakn negeri subtropics. Negeri mereka tidak menerima pancaran sinar matahari sebanyak yang kita punya, malam dan siang mereka sering tidak seimbang.

Negeri lain di Afrika yang berada sama dengan kita di jalur katulistiwa, mereka rata-rata sangat sedikit menerima hujan, sehingga sedikit pula jenis-jenis tanaman yang tumbuh di negerinya. Yang agak mirip kita adalah negeri-negeri kahtulistiwa di Amerika Selatan, namun karena mereka tidak dikelilingi laut sebanyak yang kita punya – maka curah hujan dan keaneka ragaman hayatinya tetap tidak sebanyak yang dikaruniakan olehNya untuk negeri ini.

Dengan semua karunia ini, mengapa bukan kita yang memimpin dunia dalam hal kemakmuran ?. Inilah yang perlu kita renungkan dan inilah tantangan besar kita semua. Barangkali kita selama ini tidak menyadari betapa banyaknya karunia negeri ini, karena tidak menyadari maka tidak pula mensyukurinya, kemudian karena tidak mensyukurinya maka nikmat itu dicabutlah dari negeri ini.

Di negeri yang siang dan malamnya seimbang ini, musim kering dan musim hujannya-pun (dulunya) seimbang –  kita malah tidak bisa mencukupi kebutuhan kita sendiri. Kita masih harus begitu banyak impor kebutuhan pokok mulai dari beras , gandum, susu, daging dan entah apalagi.

Lantas dari mana kita bisa mulai berbuat yang seharusnya untuk memakmurkan negeri ini ? tidak ada yang lebih baik selain mulai dari diri kita, mulai dari yang kita bisa. Mulai merubah mindset, bahwa prestasi untuk negeri bukan ketika kita mencapai karir tinggi di perusahaan asing, institusi asing atau kepentingan asing yang meng-eksploitasi negeri ini. Prestasi adalah apabila kita bisa mengolah dan memakmurkan bumi negeri ini untuk memenuhi kebutuhan minimal penduduknya sendiri, syukur bisa untuk penduduk negeri lain yang tidak seberuntung kita dalam hal kekayaan alamnya.

Prestasi bukan ketika ekonomi tumbuh tetapi pertumbuhnya dari sector konsumsi dari produk-produk yang harus diimport dari negeri lain, bukan pula dari pengerukan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Prestasi harus didasarkan pada produksi - setidaknya untuk menutup kebutuhan sendiri, prestasi adalah ketika kita dapat mengolah alam secara berkesinambungan.

Inisiatif-inisiatif kecil sedang kita mulai, di Jonggol kita ada pilot project untuk ‘menangkap’ berkah air hujan, di Blitar kita ada project penyiapan benih-benih pohon secara massal yang nantinya bisa ditanam dimana saja yang membutuhkannya, di lereng Merapi kita ada upaya untuk ikut membesarkan dan menyebarluaskan pencapaian-pencapaian pakar Alfaafa  Dr. Nugroho yang sudah sangat jauh mengembangkannya sejak beberapa tahun lalu.
Sinergi Dalam Pengembangan Alfaafa
Sinergi Dalam Pengembangan Alfaafa

Allah sedang berbicara kepada kita melalui ayat-ayat tersebut diatas ,  semoga kita bisa bener-bener mendengar firmanNya, memahaminya dan mulai berbuat yang seharusnya sesuai petunjukNya, InsyaAllah.
copas:www.geraidinar.com

Maka Hendaklah Manusia Memperhatikan Makanannya...!

Dalam setiap suasana lebaran, pesta, acara keluarga dlsb, makanan menjadi urusan besar keluarga-keluarga di Indonesia. Setelah sebulan penuh belajar menahan lapar melalui bulan puasa misalnya, lebaran sering menjadi semacam arena balas dendam. Aneka makanan yang tidak biasanya ada-pun tiba-tiba muncul di meja-meja makan kita. Maka dalam suasana gembira dalam  musim lalu, saya  secara khusus mengangkat tema makanan ini – bukan dalam konteks lebaran, tetapi dalam konteks yang lebih strategis. Konteksnya adalah merespon perintah Allah dalam Al-Qur’an untuk ‘memperhatikan makanannya’ yang saya gunakan untuk judul tulisan ini (QS 80 : 24), merespon perintah memberi makan yang ada di sejumlah surat, dan juga dalam konteks agar kita takut untuk meninggakan generasi yang lemah.


Lantas bagaimana bentuk respon yang paling tepat untuk perintah dan peringatan tersebut ?. Karena Al-Qur’an bukan hanya sebagai petunjuk, tetapi juga penjelasan-penjelasannya atas petunjuk tersebut (QS 2:185) – maka bentuk respon ini juga telah diberikan tuntunannya oleh Allah dalam kitabNya dengan sangat jelas.

Seorang ilmuwan Muslim  Mesir Prof. DR. Zagloul Al Najjar - Fellow of Islamic Academy of Science – yang menulis lebih dari 150 mukjizat Al-Qur’an dan Implikasinya pada ilmu pengetahuan, menjelaskan dengan detil rantai makanan yang diungkapkan oleh Allah dalam serangkaian ayat di surat ‘Abasa mulai dari ayat 24 tersebut diatas sampai ayat 32.

Ketika professor ini membahas ayat 28 “wa ‘inaban wa qadhban” misalnya – yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “dan anggur dan sayur-sayuran” - dalam bahasa Inggris diterjemahkan “and grapes and nutritious plants” – beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nutritious plants adalah tanaman alfalfa – yang memang sangat kaya dengan gizi.

Yang patut menjadi pertanyaan kita adalah, bagaimana mungkin tanaman yang dimaksud di dalam Al-Qur’an ini bisa menjadi kekuatan industri pertanian yang luar biasa justru di negeri seperti Amerika ?. Bagaimana ceritanya negeri tersebut bisa menjadikan alfalfa sebagai sumber kekuatan ekonomi pertanian ketiga di negerinya setelah jagung dan gandum ?. Dari mana Amerika mengenal tanaman ini atau bahkan menemukan nama  alfalfa ?.

Kita tahu dari sejarah bahwa Columbus mendarat di benua Amerika pada akhir abad 15 (1492) bersamaan dengan berakhirnya 7 abad kekuasaan Islam di Spanyol (711-1492). Kolonial Spanyol atas benua Amerika inilah yang membawa alfafa tumbuh subur di benua ini hingga sekarang. Karena lamanya peradaban Islam tumbuh di Spanyol, banyak sekali nama atau kata spanyol yang berasal dari bahasa arab – salah satunya ya alfalfa ini. Jadi benua Amerika ‘mewarisi’ tanaman yang kaya akan protein ini dari Spanyol, sedangkan Spanyol sendiri memperolehnya dari peradaban Islam  yang sempat berkembang 7 abad di negeri itu.

Ironinya adalah Amerika kini menjadi produsen alfalfa terbesar di dunia, sedangkan di dunia Islam sendiri tanaman alfalfa ini nyaris tidak pernah terdengar karena tidak menjadi perhatian untuk di produksi.

Padahal produksi tanaman pakan ternak akan terkait langsung dengan maju tidaknya industri peternakan itu sendiri. Tidak heran bila sebagai produsen alfalfa terbesar di dunia – Amerika juga menjadi penghasil daging yang sangat besar, nomor dua setelah China. Namun karena produksi daging China lebih banyak untuk konsumsi dalam negeri – Ekspor daging Amerika jauh lebih tinggi ketimbang China.

Bila hari-hari ini Anda makan steak di restoran atau hotel di seluruh Indonesia, pasti tidak sulit bagi Anda untuk minta US sirloin steak atau US tenderloin steak. Ini semua tidak terlepas dari dari budidaya alfalfa yang berhasil di negeri itu.

Lantas mengapa kita yang diberi Al-Qur’an, membacanya dari kecil dan bahkan surat ‘Abasa – dimana petunjuk detil tentang rantai makanan ini berada , salah satu dari surat pendek yang banyak dihafal - kok malah sama sekali tidak maju dalam penguasaan industri pertanian/peternakannya ?. Pasti ini karena kita tidak menghayati perintah untuk “memperhatikan makanannya” tersebut diatas – apalagi mengamalkannya yang jauh panggang dari api !.

Maka bersamaan dengan banyaknya makanan di meja makan kita pada suasana lebaran ini, mari kita perhatikan satu persatu makanan tersebut, kemudian kita pikirkan secara mendalam dari mana makanan tersebut berasal ?. Lebih jauh lagi, ayo mulai kita pikirkan juga bagaimana agar semaksimal mungkin bangsa ini mampu memproduksi bahan baku untuk makanan-makanan ini secara cukup untuk sekarang maupun nanti  untuk generasi-generasi keturunan kita – agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita !.

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya, Kamilah yang mencurahkan air yang melimpah (dari langit),  kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu disana kami tumbuhkan biji-bijian, dan anggur dan ‘sayur-sayuran’ *,  dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun yang rindang, dan buah-buahan serta rerumputan, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan ternakmu”. (QS ‘Abasa : 24-32).

Note: *Terjemahan yang seharunya adalah 'tanaman yang  penuh gizi '  yaitu alfalfa menurut Prof Zagloul Al Najjar
copas:alfaafa.com

Alfaafa Dan Kejayaan Bangsa-Bangsa Di Dunia...

Ketika 1,300 tahun lalu Tariq Bin Ziyad membakar kapalnya dan mendarat di Gibraltar (Jabal Tariq), pasukan Tariq yang hanya sekitar 7,000 orang mampu mengalahkan pasukannya raja Roderick Spanyol yang berjumlah 25,000 orang. Kemenangan ini tentu karena pertolongan Allah semata, tetapi ada sisi-sisi ikhtiari manusianya yang juga harus berusaha keras untuk mencapai kemenangan tersebut. Di antara sisi ikhtiari ini adalah upaya menyediakan logistik yang efisien untuk mendukung kekuatan pasukan.

Bisa Anda bayangkan, setelah Tariq mendaratkan pasukannya dan membakar kapalnya – dengan apa dia bisa terus  masuk merangsek ke daratan Spanyol ?. Berjalan kaki kah ?. Tentu tidak. Mereka juga menyiapkan kuda-kuda perang yang perkasa untuk dapat mengalahkan kekuatan musuh yang jauh lebih besar.

Tetapi kuda-kuda ini kan perlu diberi makan agar tetap kuat berlari, lantas dari mana makannya ?, sedangkan ketika 7,000 pasukan Muslim masuk pertama kali ke Spanyol tentu belum memungkinkan untuk memperoleh support logistik dari daerah yang dimasukinya karena semuanya masih wilayah musuh. Inilah pentingnya logistik dalam setiap gerakan pasukan, jadi selain mereka memiliki bekal secukupnya untuk pasukan, mereka juga membawa bekal secukupnya untuk kuda-kudanya.
Untuk tetap perkasa, kuda harus diberi makan bergizi yang cukup. Bila yang dibawa adalah rumput-rumput biasa, akan perlu begitu banyak rumput harus dibawa sehingga di kapal tidak ada lagi tempat untuk pasukannya. Maka harus ada sedikit rumput yang cukup untuk membuat kuda-kuda tersebut tetap perkasa. Rumput alfaafa-lah (yang kemudian bangsa spanyol menyebutnya alfalfa) yang menjadi bekal logistik pakan kuda-kuda Tariq ini.

Selama kurun waktu yang hampir 8 abad kemudian (781 tahun), pasukan Islam memakmurkan sebagian bumi Eropa antara lain dengan mengajari mereka bercocok tanam dlsb, termasuk juga menanam alfaafa ini. Maka ketika pasukan Spanyol pimpinan Hernando Cortez  mendaratkan kapal-kapalnya di Meksiko tahun 1519 atau 27 tahun pasca berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol (1492), mereka telah belajar hampir 8 abad tersebut dari Islam - termasuk dalam hal menyiapkan logistic perangnya.

Pasukan Hernado Cortez-pun membawa kuda-kuda dan rumput yang dibawa-pun adalah rumput alfaafa – dari sinilah benua Amerika mengenal alfaafa itu hingga kini. Spanyol menguasai Amerika latin sekitar 300 tahun atau hampir sama dengan Belanda menguasai negeri ini. Maka tidak heran bila salah satu bahasa yang popular di Amerika Latin sampai sekarang adalah bahasa Spanyol.

Sisi lain yang tidak menjadi perhatian dan jarang ditulis di dalam sejarah adalah logistiknya. Pasukan menjadi unggul manakala ligistiknya juga unggul. Ketika Islam unggul di Spanyol 781 tahun, logistik mereka unggul – dan mereka juga menguasai tanaman alfaafa.

Ketika 300 tahun kemudian ganti Spanyol yang unggul khususnya di Amerika Latin, mereka juga unggul di bidang logistik termasuk alfaafa untuk kuda-kuda mereka – keunggulan yang mereka pelajari selama 781 tahun dari Islam di Spanyol.

Kini negeri baru Amerika Serikat yang baru exist kurang dari 240 tahun terakhir, mereka secara tidak langsung ‘menguasai’ dunia dengan kekuatan militer, teknologi, budaya popular dan juga produk-produk peternakan (daging) dan pertanian - termasuk alfaafa-nya yang mencapai sekitar 9.2 juta hektar luas tanam – terbesar di dunia saat ini.

Maka tidak ada yang kebetulan di dunia ini, sunatullah dalam hukum sebab akibat berlaku dan terbukti dalam sejarah. Islam Berjaya 781 tahun di Spanyol ketika sisi ikhtiari mereka juga kuat – yang dengan ikhtiar-nya tersebut mereka ditolong Allah, sisi iktiar mereka termasuk menyiapkan logistik untuk kuda-kuda perang dengan rumput yang paling efisien yaitu alfaafa – yang nama maupun karakternya disebut di Al-Qur’an (QS 78 : 16 dan QS 80 : 28).

Tetapi mengapa alfaafa atau alfalfa bisa menjadi faktor plus dalam kejayaan bangsa-bangsa dalam sejarah dunia ?. Dalam ilmu energy, ada dikenal istilah EROIEnergy Return On Investment. Yaitu energy earned (yang dihasilkan) dibagi dengan dengan energy consumed (yang dikonsumsi) dari suatu system

Bangsa-bangsa yang memiliki pengelolaan energy dengan EROI tertinggi dia yang akan mempunyai tenaga ekstra untuk menjaga eksistensi bangsa tersebut dan akan terus berkembang. Sebaliknya bangsa-bangsa yang memiliki system dengan EROI rendah, maka dia akan sulit bertahan dan bahkan akan cenderung punah.

Terkait dengan EROI ini; untuk produk pertanian alfaafa memiliki EROI tertinggi dibandingkan tanaman lain seperti gandum, jagung dlsb. EROI Alfaafa adalah 27, dibandingkankan dengan gandum yang hanya dikisaran 12 dan jagung di kisaran  6. Jadi dengan input yang sama alfaafa memberikan hasil yang 2.25 kali dari gandum dan sekitar 4.5 kali dari jagung.

Artinya apa ini ?, bangsa-bangsa yang menguasai alfaafa tidak kebetulan bila mereka juga menguasai dunia karena efisiensi di sisi produksi energy berupa pangan dan pakan untuk ternak mereka.  Maka bukan kebetulan pula bila di Al-Qur’an ada dua surat yang berurutan yang didalamnya mengandung petunjuk untuk memperhatikan urusan pangan dan pakan ini : “Mataa ’allakum wa li an’amikum” , Semua itu untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan ternakmu (QS 79:33 dan QS 80: 32). Maka inilah bagian dari ikhtiar itu, ikhtiar untuk kita juga mulai menanam alfaafa – sebagai sumber pangan dan pakan yang sangat efisien sepanjang masa.

Dari tiga kali pertemuan dalam Pesantren Wirausaha Akhir Pekan, setidaknya kami sudah membagikan bibit alfaafa ke sekitar 300 orang dan belajar bareng pula untuk cara menanamnya. Mudah-mudahan ini menjadi awal bangkitnya kekuatan umat ini, awal untuk mengembalikan kejayaan umat Islam di tengah peradaban umat-umat lain yang kini lagi menguasai dunia – melengkapi ikhtiar yang juga dilakukan oleh saudara-saudara kita yang lain dibidang aqidah, pendidikan, politik, ekonomi, pemikiran dlsb. InsyaAllah.
copas:alfaafa.com

Dunia Pendidikan Menghasilkan Keserakahan, Individualistik, dan Tidak Percaya Diri


Berbicara mengenai pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Di dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejak ditetapkannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan) yang menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu KBK, pelaksanaannya belum memberikan hasil optimal sesuai yang diharapkan pemerintah.
Dengan munculnya KTSP yang konon katanya kurikulum tersebut dapat mempermudah para guru dalam menentukan tujuan akhir dari pembelajaran tersebut dan dapat digunakan  atau dilaksanakan dimana saja, baik itu di kota maupun di daerah-daerah terpencil.
Dalam harian kompas Sabtu, 5 Mei 2012, dunia pendidikan Indonesia dinilai telah kehilangan arah.
Saat ini, pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.
Karena itulah, sejumlah pakar menilai pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. Berangkat dari kondisi tersebut, sedikitnya 26 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Yogyakarta akan menggelar Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan 2012.
“Pendidikan itu seharusnya memanusiakan manusia. Kalau sistem pendidikan kita bisa konsisten menerapkan pendidikan yang nasionalistik, naturalistik, dan piritualistik, yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter,” kata Kunjana, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Di tempat yang sama, Prof Sutaryo selaku ketua panitia pengarah mengatakan bahwa kongres ini bermula dari keprihatinan para pendidik di Yogyakarta, yang melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia telah kehilangan arah. “Konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara saat ini telah mengalami kebekuan. Yang berkembang justru pendidikan dengan konsep dari Barat yang menjadikan manusia individualis dan serakah, yang tentunya tidak sesuai dengan bangasa kita,” kata Prof Sutaryo.
Pendidikan sekarang ini hanya dimanfaatkan oknum-oknum yang hanya ingin mencari kekuasaan. Bahkan pendidikan dicampur adukan dengan dunia politik. Hal ini tidak wajar karena sudah melenceng jauh dari cita-cita awal pendidikan bangsa ini. Yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan malah menyengsarakan dan membodohi rakyat.
Pendidikan menjadi lahan subur bagi mereka yang tidak punya hati nurani hanya untuk memperkaya diri mereka sendiri tanpa belas kasihan melihat anak-anak terlantar, anak-anak jalanan, pengamen yang harusnya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bukan di usia yang masih belia dan produktif ini harus mencari uang hanya untuk sesuap nasi. Padahal, dalam benak mereka pasti memiliki keinginan yang besar untuk bisa memperoleh pendidikan yang layak.
Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan pihak-pihak sekolah saja. Pendidikan juga merupakan tanggung jawab orang tua . Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional  pasal 7  menyatakan (1)  Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (2)  Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Berdasarkan undang-undang tersebut jelas bahwa orang tua bukan hanya mendaftarkan anak ke sekolah dan kemudian tunggu tiga tahun berikutnya diambil kembali untuk memetik hasilnya. Tetapi, orang tua diharapkan ikut serta berperan dalam memperhatikan perkembangan anak dalam pendidikan.
Perkembangan pendidikan anak tentu harus dibarengi dengan pemeliharaan dan perhatian yang cukup di segala hal agar hasil yang diharapkan benar-benar dapat bermutu dan diterima dipasaran tenaga kerja. Pemeliharaan ini tentu memerlukan biaya tidak dapat diperoleh dengan hanya mengharapkan bantuan.
Mutu pendidikan ditentukan empat hal penting. 1) input, 2) proses, 3) out put dan 4) out come. Dari keempat 4 hal tersebut di atas faktor input dan out put merupakan faktor yang sangat penting karena menyangkut keberadaan anak didik itu sendiri.
Lembaga atau pemerintah dapat saja menentukan tingkat kelulusan minimal siswa 5,0 atau lebih tinggi lagi. Dengan berbagai strategi dan upaya sekolah mempersiapkan diri untuk mencapai target tersebut, misalnya dengan menambah jam belajar untuk pelaksanaan les, menyediakan bimbingan khusus untuk memacu agar peserta didik dapat berhasil dengan baik. Program-program tersebut hanya sebagian kecil saja untuk mencapai mutu pendidikan yang baik.
Mutu yang baik ditentukan oleh peserta didik itu sendiri. Program-program yang tersusun dengan baik, sementara peserta didik enggan untuk mengikutinya , perhatian orang tua di rumah tidak ada maka mustahil mutu yang diharapkan dan target yang hendak dicapai dapat terwujud. Kurikulum Baru Solusikah ?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh menyampaikan, kurikulum pendidikan nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013. Kurikulum baru itu rencananya segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.
“Pembahasannya masih berlangsung, nanti akan diuji publik, dan Februari 2013 semuanya akan rampung,” kata Nuh, Ia menjelaskan, kurikulum pendidikan yang baru akan menyentuh semua jenjang pendidikan. Dari pendidikan dasar, sampai ke pendidikan tinggi. Kurikulum baru itu, tambah Nuh, merupakan hasil dari evaluasi pada seluruh mata pelajaran.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Musliar Kasim mengungkapkan, ada tiga unsur penting yang akan direvisi, yaitu terkait Attitude (sikap), Skill(keahlian), dan Knowledge (pengetahuan), yang kemudian disebut dengan kurikulum ASK.Sedangkan menurut Chairil Anwar Notodiputro (Kemdikbud) mengatakan, evaluasi terhadap kurikulum pendidikan nasional hampir selesai dilakukan.
Saat ini, evaluasi itu melahirkan draf naskah kerangka dasar kurikulum pendidikan nasional.”Evaluasi sudah kami lakukan. sekarang kita sudah punya draf untuk naskah kerangka dasar dari kurikulum itu,” kata Chairil. Kompas.com,(28/8/2012). Ia menjelaskan, draf naskah kerangka dasar kurikulum itu menitikberatkan pada empat mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, Matematika dan Pendidikan Agama.
Alasan memilih empat mata pelajaran itu adalah karena tim evaluasi Kemdikbud menilai, empat mata pelajaran tersebut mampu menjadi perekat bangsa. “Alasannya karena empat pelajaran itu kami nilai universal dan bisa menjadi perekat bangsa,” ujarnya.
Evaluasi terhadap kurikulum pendidikan nasional dilakukan Kemdikbud karena kuatnya desakan dari sejumlah pihak. Secara umum, kurikulum pendidikan nasional yang berlaku saat ini dinilai kurang memberikan efek besar bagi peserta didik. Khususnya, pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Pancasila dalam hal pembentukan karakter dan nasionalisme peserta didik.

Oleh: Aripianto, Pekanbaru
Mahasiswa PKn, FKIP, Universitas Riau
copas:fimadani.com

Pendidikan Agama Kurang, Picu Terjadinya Tawuran Pelajar

Hidayatullah.com--Kurangnya nilai agama di kalangan pelajar saat ini, menjadi pemicu utama terjadinya tawuran antarsiswa sekolah yang kembali marak terjadi.

"Karena mereka tidak memiliki pendidikan agama yang cukup, menjadikan mereka tidak tahu cara menghormati orang tua, menghargai teman dan guru. Inilah yang memicu terjadinya tawuran," kata Ketua Lembaga Dakwa Sekolah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jalimudin, dalam acara forum diskusi kelompok yang diselenggarakan DPD HTI Kota Bogor, di Kota Bogor, Sabtu (29/09/2012).

DPD HTI Kota Bogor menggelar forum diskusi kelompok terkait tawuran dan stigma negatif Rohis sebagai produsen teroris. Peserta berasal dari sejumlah kalangan seperti perwakilan sekolah, perwakilan masyarakat, Satuan Tugas Pelajar, dan organisasi masyarakat peduli tawuran dan narkoba.

Dalam forum diskusi yang mengangkat tema "Membongkar stigma negatif Rohis produsen teroris dan mengurai benang kusut tawuran anak sekolah", sejumlah pemikiran tentang solusi komprehensif penanganan tawuran secara Islami dipaparkan sejumlah peserta.

Jalimudin mengatakan, kurangnya pendidikan agama di sekolah karena sistem pendidikan di Indonesia menggunakan sistem sekulerisme kapitalis. Sistem ini telah mengurangi porsi pendidikan agama di sekolah.

"Pendidikan agama menjadi sangat penting dalam membentuk akhlak dan moral anak-anak. Tawuran menunjukkan rendahnya moral generasi mudah saat ini," katanya.

Hal tersebut dibenarkan Ketua Satgas Pelajar Kota Bogor, TB Muhammad Ruchjani. Ia mengatakan, moral anak bangsa saat ini telah rusak, khususnya mereka yang terlibat tawuran.

Pelajar yang terlibat tawuran tidak segan-segan melawan guru, aparat, petugas maupun orang tuannya sendiri. Tidak adanya sikap menghargai, menghormati dan melindungi, menjadi bentuk rusaknya moral seorang anak.

"Kami melihat kebanyakan anak-anak yang terlibat tawuran ini merupakan anak dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi sosial ekonomi menyebabkan mereka minim mendapat perhatian dari orang tua," katanya.

Selain karena rendahnya moral akibat kemiskinan, lanjut Ruchjani, sistem pendidikan serta minimnya pengawasan dinas terkait juga menjadi penyebab utama terjadinya tawuran pelajar.

Menurutnya, Dinas Pendidikan harus bertindak tegas dalam mencegah tawuran, salah satunya memberikan sanksi tegas kepada pihak sekolah dengan mengurangi kuota rombongan belajar, serta mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran.

"Yang paling penting, Dinas Pendidikan harus mendata sekolah-sekolah yang terlibat tawuran, lalu memberikan pembinaan. Data ini nantinya untuk catatan, bila sekolah tersebut terlibat tawuran dapat diberi sanksi agar kuota penerimaan siswa dibatasi. Selain itu, Dinas harus tegas mengeluarkan aturan larangan penerimaan siswa yang terlibat tawuran di sekolah manapun di Kota Bogor. Silakan dia pindah sekolah di luar Kota Bogor," katanya.

Sementara itu, menurut salah satu perwakilan dari SMUN 4 Kota Bogor mengatakan, upaya pihak sekolah dan satgas Pelajar dalam menanggulangi tawuran telah optimal. Hanya saja, tidak adanya kejujuran di lingkungan sekolah, seperti antara komite dan sekolah. Hal ini menjadi penghalang dalam mencegah tawuran.

"Diperlukan kejujuran masing-masing pihak. Jika kita sudah jujur, kita optimalkan pengawasan, tawuran ini dapat diminimalisasi," katanya, seperti dimuat Antara.

Selain itu, lanjut dia, perlu pembinaan secara berkelanjutan, khususnya pembinaan keagamaan untuk para pelajar. Salah satunya lewat kegiatan rohani keislaman yang kini mulai ditinggalkan.

Menurutnya, tawuran terjadi karena belum optimalnya pemanfaatan waktu pembelajaran siswa sehingga waktu luang dimanfaatkan untuk hal-hal negatif. Ditambah rendahnya pendidikan agama sehingga pelajar mudah terbawa arus pergaulan.

"Fasilitas pendidikan kita masih kurang, jam belajar juga tidak optimal. Banyaknya waktu luang ini yang dimanfaatkan siswa untuk berkumpul dan hura-hura. Jika jam pelajaran mereka dioptimalkan dengan pendidikan ekstra saya yakin kegiatan siswa akan lebih positif lagi," ujarnya.

Forum diskusi kelompok yang digelar LDS DPD HTI Kota Bogor menghasilkan sejumlah pemikiran dan solusi-solusi konprehensif yang diharapkan dapat mengeliminasi terjadinya tawuran.

"HTI akan mencoba melakukan koordinasi dan mediasi dengan instansi terkait untuk bagaimana membantu mencegah terjadinya tawuran lewat kegiatan dakwah dan kerohanian di sekolah-sekolah. HTI juga akan melakukan pembinaan kepada sekolah dan juga siswa secara berkelanjutan," kata Ketua panitia penyelenggaran forum diskusi kelompok LDS HTI Kota Bogor, Hadi.*
copas:hidayatullah.com/

Akhir Tragis Sang Penyelamat Republik


Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965 tidak terlepas dari melemahnya kekuatan Islamis dan semakin condongnya rezim Soekarno pada komunisme. Kesempatan besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Partai Komunis Indonesia untuk merebut tampuk kekuasaan dalam rangka mencengkeram Republik dengan paham atheisme dan komunisme.
Jauh sebelum memiliki kesempatan untuk memberontak secara nasional, PKI memiliki musuh yang tangguh, yakni kelompok yang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PDRI dan PRRI) . Kami nukilkan secara utuh sejarahnya dari Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2008.
PDRI terbentuk, ketimpangan antara daerah dan pusat malah mencolok. Pusat acuh tak acuh kepada daerah. Protes pun menjadi marak
Dalam untaian sejarah Indonesia, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tak bisa dipisah satu sama lain. Kedua peristiwa ini bagai mata rantai yang saling melengkapi.
PDRI dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittingi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin Prawiranegara. Sedang PRRI dicetuskan 10 tahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Pebruari 1958, di Padang, Sumatera Barat, oleh Ahmad Husein. Syafruddin sendiri kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan yang baru ini.
Ihwal terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan menduduki ibukota negara yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Ketika itu, Belanda juga menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno sempat menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran RI yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Surat itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI. Tanpa ada hambatan, sehari setelah itu, pemerintahan darurat terbentuk.
Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus. Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat.
Upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI.
Agresi militer Belanda berhenti. Soekarno dan Hatta dibebaskan. PBB mengakui kedaulatan Indonesia.
Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy anding yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, Syafruddin berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno.
Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup.
Sejarawan Dr Mestika Zed menyatakan, negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa PDRI. “PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara sebagai bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara dari ancaman disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah tugasnya selesai.” kata Mestika.
Pengembalian mandat PDRI oleh Syafruddin kepada Soekarno ternyata bukan awal bagi terwujudnya pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita proklamasi. Sebaliknya, ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah kian menganga.
Ketika Presiden Soekarno menggulirkan proyek pembangunan Tugu Monas serta berhala-berhala lain di Jakarta, rakyat di daerah, baik di Jawa maupun di luar Jawa, justru kian dibelenggu oleh kemiskinan, kelaparan, dan didera penyakit tukak dan cacing tambang.
Akibat ketimpangan itu, gelombang ketidakpuasan di daerah mulai membesar. Di Bukittinggi, bekas ibukota PDRI, misalnya, untuk pertamakali terjadi unjuk rasa yang diikuti 10 ribu orang. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Demontrasi Nasi Bungkus”.
Istilah “Nasi Bungkus” menggambarkan simbol bahwa rakyatlah yang dulu mendukung tentara dengan logistik sehingga tetap bisa mempertahankan PDRI hingga bangsa ini bisa terselamatkan.
Berawal dari Dewan Banteng
Bersamaan dengan kian memuncaknya protes atas ketimpangan pembangunan wilayah pusat dan daerah, pada Desember 1956 berdirilah Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Bermunculannya dewan-dewan itu merupakan wujud ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat atas penciutan struktur militer dan kian diberi tempatnya PKI di pemerintahan. Saat itu Soekarno dinilai lebih condong ke “kiri“.
Menurut Kahin (1979), Resimen 6 Devisi IX Banteng sebelumnya merupakan pasukan terbaik di Sumatera. PRRI kala itu menunjuk Ahmad Husein sebagai panglima pasukan ini.
Namun, nasib Divisi Banteng menjadi kucar-kacir ketika pemerintah Soekarno melaksanakan penyerderhanaan struktur militer secara nasional.
Kemudian, perwira Akademi Militer Hukum di Jakarta, Jusuf Nur dan Djamhuri Djamin, pengusaha Ramawi Izhar, serta Badar Gafar dari pusat pendidikan infanteri, berencana menggelar reuni mantan Divisi Banteng, baik yang masih aktif maupun yang tidak.
Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan. Pertama, di Jakarta pada 21 September 1956. Kedua, di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956.
Reuni akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni ini membahas masalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah.
Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan. Reuni membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng.
Selain itu dibentuk pula dewan yang bertugas menindaklanjuti dan memperjuangkan hasil reuni ini. Dewan tersebut bernama Dewan Banteng, terdiri dari unsur militer, pemerintah daerah, alim ulama, dan pemuka adat. Jumlahnya ada 17 orang, mengacu pada semangat proklamasi 17 Agustus 45.
Tetapi oleh PKI dan sebagian tokoh PNI, rumusan perjuangan Dewan Banteng itu dicap sebagai pemberontakan. Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato di depan corong Radio Republik Indonesia Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi.
Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Soekarno juga dikecam karena kian memihak kepada komunis. Puncaknya adalah mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956. Ia tidak setuju dengan cara Soekarno mengatasi keadaan negara.
Sayangnya, peristiwa itu tak membuat Soekarno mengoreksi sikapnya. Malah, aksi pelemparan granat pada malam 30 Nopember 1957, di saat Soekarno menghadiri ulang tahun sekolah Cikini, tempat anaknya bersekolah, dijadikan alasan untuk menangkapi lawan-lawan politiknya dan mengeluarkan Dekrit Presdien 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi permintaan agar konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan.
Pasca peristiwa Cikini, Jakarta menjadi bara api yang setiap saat siap membakar para lawan politik Soekarno, terlebih bagi siapa saja yang sejak awal telah menentang keberadaan PKI. Surat kabar yang menjadi corong PKI seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan Harian Pemuda menuding sejumlah tokoh politik dari partai Masyumi dikait-kaitkan dengan peristiwa Cikini. Mereka kemudian diteror dan diancam akan dihabisi.
Rumah Mohammad Rum sempat dikepung massa. Untunglah Rum dan keluarganya selamat. Demikian juga rumah Natsir. Para politisi dari partai Masyumi merasa tidak aman lagi tinggal di Jakarta. Satu demi satu mereka ‘hijrah’ ke daerah. Bahkan, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI), turut hijrah ke Padang.
Jadi, kedatangan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap ke Padang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan terbentuknya Dewan Banteng atau berbagai gerakan protes yang sedang marak di daerah.
“Pak Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi murni mengungsi ke daerah untuk menyelamatkan diri dari aksi penculikan,” ungkap Dt Tankabasaran, pengawal Natsir pada waktu itu.
Namun, Soekarno tidak peduli. Para tokoh Masyumi tetap dianggap ikut memberontak.
Pemberontakan Setengah Hati
Tokoh Masyumi mampu meredam keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Namun, Soekarno tetap menilainya sebagai pemberontak.
Gagasan melawan Soekarno yang dituduh kian condong pada PKI semakin menguat ketika para tokoh militer dan politisi sipil mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Rapat rahasia itu berlangsung dalam dua putaran.
Putaran pertama tanggal 8 Januari 1958, dihadiri tokoh-tokoh militer plus seorang politisi sipil Soemitro Djojohadikoesoemo. Rapat putaran pertama ini penuh semangat ‘kemarahan’ kepada pemerintah pusat. Bahkan, sempat terlontar beberapa kali ancaman akan memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara Sumatera jika pemerintah pusat tak mau berbenah.
Untunglah, dalam rapat kedua tanggal 10 Januari 1958, tokoh sipil seperti Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap, bisa meredam keinginan itu. Pertemuan tertutup yang disebut rapat rahasia Sungai Dareh itu cuma menyempurnakan susunan pengurus Dewan Perjuangan.
Sebulan setelah rapat rahasia berlangsung, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1958, Ahmad Husein, selaku Ketua Dewan Perjuangan, menyampaikan ultimatum kepada pemerintahan Soekarno melalui Radio Republik Indonesia Padang. Ultimatum yang disebut Piagam Perjuangan ini berisi 8 poin tuntutan. Intinya, menuntut agar dalam waktu 5 x 24 jam sejak diumumkannya ultimatum ini, presiden segara membubarkan Kabinet Djuanda.
Tuntutan lainnya, pemerintah harus membentuk Zaken Kabinet Nasional yang jujur dan bersih dari unsur-unsur PKI. Kemudian, Soekarno harus memberi dukungan kepada Zaken Kabinet, dan Hatta bersama Hamengku Buwono harus diberi mandat untuk bertugas di Zaken Kabinet ini.
Jika ternyata Soekarno enggan memenuhi tuntutan ini dan tidak memberikan kesempatan kepada Zaken Kabinet untuk bekerja, maka Dewan Perjuangan menyatakan terbebas dari kewajiban taat kepada Soekarno sebagai kepala negara.
Tak ada satu kalimat pun dalam ultimatum yang menyatakan bakal memisahkan diri dari Republik Indonesia. Saat ditanya oleh Kapten Zaidin Bakry apa yang akan dilakukan Dewan Perjuangan ke depan, Husein sama sekali tak menjawab bakal mendirikan negera sendiri. Ia hanya menjawab, “Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”
Namun, ultimatum yang hanya sekadar ”gertakan sambal” itu tidak membuahkan hasil. Esok harinya, 11 Februari 1958, di Jakarta, Djuanda mengumumkan menolak ultimatum Dewan Perjuangan. Bahkan, ia memerintahkan KSAD untuk memecat Letkol Ahmad Husein dan Kolonel Simbolon dari kemiliteran, membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST), serta memutuskan hubungan darat dan udara dengan Sumatera Tengah.
Sikap yang ditunjukkan Djuanda ini jelas memberi jawaban bahwa ultimatum tak akan dipenuhi. Bahkan, Djuanda memberikan reaksi yang sangat keras.
Itu berarti, tak ada lagi jalan menuju negosiasi. Tindakan harus segera dilakukan. Maka, pada tanggal 15 Pebruari 1958, Husein segera membentuk ”kabinet tandingan” yang berkedudukan di Padang. Mereka juga mengumumkan tak mengakui lagi kabinet Djuanda.
Kabinet baru itu bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam kabinet itu, Mr Syafruddin Prawiranegara diamanahi sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Maludin Simbolon menjabat Menteri Luar Negeri., Kolonel Dahlan Djambek menjabat Menteri Dalam Negeri. Mr Burhanuddin Harahap menjadi Menteri Pertahanan sekaligus Menteri Kehakiman. Dr Soemitro Djojohadikoesemo menjabat Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Adapun Menteri Agama dijabat Saleh Lintang. Menteri Penerangan dijabat Saleh Lahade. Menteri Sosial dijabat A. Gani Usman. Menteri Pertanian dijabat S. Sarumpaet. Menteri Pembangunan dijabat JF Warouw. Dan, Menteri PP&K dijabat Mohammad Syafei.
Tak lama kemudian terjadilah ”tragedi”. Tragedi ini berawal saat Presiden Soekarno pulang dari lawatan ke Eropa Timur dan Peking pada 16 Pebruari 1958. Djuanda langsung menghadap Soekarno dan melaporkan gerakan yang ia sebut ‘pemberontakan’ PRRI di Sumatera Tengah dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Hari itu juga keluar perintah Soekarno agar menangkap para tokoh PRRI dan Permesta.
Ancaman penangkapan “dijawab” oleh Ahmad Husein dengan mengelar Rapat Umum PRRI di Padang pada 20 Pebruari 1958. Di hadapan peserta rapat, Husein menyatakan tidak gentar dengan ancaman Soekarno. Sambil melemparkan tanda pangkatnya ke tanah, Husein berkata, “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno.”
Beberapa tokoh lalu menenangkan Husein. Tanda pangkat yang tadi dilempar, diambil lagi dan dilekatkan kembali ke tempatnya.
Sejak saat itu dukungan terus mengalir kepada PRRI. Bahkan dilaporkan, sekitar 400 mahasiswa dan pelajar Minang yang sedang kuliah di Jawa memutuskan pulang untuk bergabung bersama Tentara Pelajar (TP), sebuah kekuatan penyeimbang terhadap OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) dan OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) bentukan PKI.
Dukungan mayoritas dari masyarakat Sumatera Tengah dan Sumatera Barat terhadap PRRI adalah wajar. Sebab, wilayah ini merupakan basis Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi sendiri banyak yang menjadi tokoh PRRI.
Lagi pula, di Sumatera Tengah, partai Masyumi meraih kemenangan mutlak (58 persen) pada Pemilu 1955, jauh meninggalkan PNI, apa lagi PKI.
Para tokoh PRRI di daerah Sumatera Tengah juga ‘menjawab’ ultimatum Soekarno dengan melancarkan operasi penangkapan terhadap ratusan tokoh ‘kiri’ dan anggota PKI. Mereka ditahan di tiga tempat: Muaro Labuh, Situjuh, dan Suliki.
Keesokan harinya, tanggal 21 Pebruari 1958, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh. Operasi ini diberi sandi “Operasi 17 Agustus”, dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Pesawat AURI langsung menghujani Kota Padang dan Bukittinggi dengan bom. Bersamaan dengan itu, puluhan kapal perang membombardir Pantai Padang.
Anehnya, tak ada perlawan dari pihak ”pemberontak”. Tak ada serangan balasan meski mereka bertubi-tubi diserang APRI. Tak ada satu pun ”pemberontak” yang berusaha meletuskan senjatanya. Ada apa gerangan?
Rupanya sehari setelah ”rapat rahasia Sungai Dareh” ditutup, Natsir memberi perintah agar PRRI menerapkan ‘gerakan tanpa perang’ untuk melawan pemerintah Soekarno. Seruan ini betul-betul diikuti.
PRRI bukannya membalas serangan tapi justru mundur ke kampung-kampung, terus ke hutan-hutan. Rute gerakan mundur ini tak jauh berbeda dengan rute perjuangan PDRI dulu, yaitu belantara di sekitar Agam, Pasaman, Payakumbuh, dan Solok.
Inilah adegan ”pemberontakan setengah hati” PRRI.
Balas Dendam Si Palu Arit
Karena PRRI sangat memusuhi komunis, PKI ikut serta dalam operasi penumpasan garakan ini. Korban pun berjatuhan.
Sejatinya, bukan hanya faktor kesenjangan yang menyebabkan PRRI lahir. Namun, hadirnya komunis di Indonesia juga menjadi salah satu sebabnya. Ini bisa diketahui dari ultimatum PRRI yang dikeluarkan tanggal 10 Februari 1958. Isi ultimatum tersebut antara lain menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur PKI.
Nuansa anti-PKI juga terlihat dari respon pribadi para tokoh PRRI terhadap gerakan komunisme. Simbolon, panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan, yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI, misalnya, sejak awal sudah menyadari bahaya komunis mengintai Sumatera Timur.
Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka untuk digarap.
Para buruh yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.
Begitu pula Saleh Lahade yang menjabat Menteri Sosial di kabinet PRRI. Kewaspadaan perwira yang mendapat tugas mengurusi transmigrasi ini terhadap gerakan komunis sudah ia perlihatkan lewat sebuah tulisan pada 15 Oktober 1957.
Dalam tulisan itu ia tumpahkan semua konsep mengenai cara mengatasi problem yang menimpa Angkatan Darat. Cara itu, menurutnya, menumpas sumber masalah yang menyebabkan pertikaian dalam militer terjadi. Sumber masalah itu tak lain adalah komunis. Tulisan itu selanjutnya ia sampaikan ke Panitia 7 di Jakarta.
Sedangkan Syafruddin Prawinagera yang menjabat Perdana Menteri PRRI, Burhanuddin Harahap yang menjabat Menteri Pertahanan, serta Natsir, adalah tokoh-tokoh Masyumi yang memang amat keras menentang komunis.
Jadi, bisa dimaklumi jika mereka semua kemudian bergabung dengan PRRI ketika “hijrah” ke Padang.
Bahkan, PRRI pernah pula mendapat bantuan persenjataan dari CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat karena memusuhi komunis. RZ Leirissa dalam buknya PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis menilai hubungan ini terbangun karena PRRI dan CIA sama-sama memiliki kepentingan. PRRI memerlukan senjata untuk menghadapai serangan pemerintah pusat, sedangan CIA perlu saluran untuk menggertak Soekarno. Ini bisa dipahami karena Barat sangat memusuhi komunis.
Akan tetapi, setelah AS melihat masih ada sekelompok orang yang anti-komunis di jajaran pemerintahan, dukungan terhadap PRRI dialihkan kepada kelompok ini.
Balas dendam
Dendam PKI kepada PRRI kian lama kian membuncah. Kesempatan untuk membalaskan dendam ini terbuka lebar ketika terjadi operasi penumpasan PRRI. Apalagi setelah Kolonel Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan Komandan Operasi 17 Agustus.
Syafrudin Bahar, dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara dengan sembilan batalyon tentara.
Kenyataannya, OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban berjatuhan di Minang. Mereka semua pendukung PRRI.
Kebiadaban kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen, Letnan Untung (kelak memimpim kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI.
Tiap daerah punya cerita hampir sama tentang kekejaman PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik, tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali lagi.
Di Mahek Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September 1961 diberondong sampai tewas.
Dengan adanya kasus-kasus itu, Amnesti Umum berupa pengampunan dan jaminan keselamatan bagi anggota PRRI yang bersedia keluar hutan, seperti diumumkan Presiden Soerkarno melalui Kepres No 332 tanggal 22 Juni 1961, omong kosong.
Kebiadaban demi kebiadan yang dialami masyarakat Minang benar-benar menimbulkan trauma yang mendalam sampai hari ini. Masyarakat Minang kehilangan inisiatif dan daya kritis. Demikian parahnya rasa trauma itu sampai-sampai tradisi pemberian nama yang berbau Minang sempat dihapus. Banyak putra Minang yang lahir pasca penumpasan PRRI diberi tambahan nama Prayitno, Sutarjo, atau Hamiwanto.
Setelah PRRI jatuh, posisi PKI semakin menguat. Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 30 September, partai komunis semakin berani bergerak. Enam pejabat tinggi militer dan seorang pengawal mereka bunuh. Peristiwa ini tersohor dengan sebutan Gerakan 30 September. Rupanya, inilah akhir dari cerita kekejaman ”Si Palu Arit”.
copas:fimadani.com/