Sebelum sampai ayat “wa jannaatin alfaafa” (QS 78 : 16), Al-Qur’an bercerita tentang gunung-gunung (QS
78 :7) , tentang perimbangan malam dan siang (QS 78 :10-11) , tentang
sinar matahari yang amat terang (QS 78 :13) , tentang air hujan yang
tercurah (Qs 78 :14), tentang berbagai biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan
(QS 78 :15).
Sekarang
mari kita lihat di antara negeri-negeri di dunia, negeri mana yang
diberi karunia lengkap tersebut diatas ?, memiliki gungung-gunung yang
banyak, malamnya seimbang dengan siangnya, matahari memancarkan sinarnya
sepanjang tahun, memiliki hujan yang tercurah lebat rata-rata separuh
waktu dalam setahun dan memiliki keanekaragaman tanaman yang luar biasa ?
Bukankah ini sangat-sangat mirip dengan karakter negeri kita –
Indonesia ?.
Negeri
Arab tempat diturunkannya Al-Qur’an tidak memiliki gunung-gunung yang
banyak, tidak banyak air hujan yang tercurah, dan apalagi tanaman –
sangat sedikit yang tumbuh disana dibandingkan dengan apa yang
ditumbuhkan oleh Sang Pencipta untuk negeri ini.
Negeri-negeri
yang saat ini memimpin dunia dengan teknologi, ekonomi, politik dan
militernya saat ini rata-rata berada di belahan bumi utara, kebanyakn
negeri subtropics. Negeri mereka tidak menerima pancaran sinar matahari sebanyak yang kita punya, malam dan siang mereka sering tidak seimbang.
Negeri
lain di Afrika yang berada sama dengan kita di jalur katulistiwa,
mereka rata-rata sangat sedikit menerima hujan, sehingga sedikit pula
jenis-jenis tanaman yang tumbuh di negerinya. Yang agak mirip kita
adalah negeri-negeri kahtulistiwa di Amerika Selatan, namun karena
mereka tidak dikelilingi laut sebanyak yang kita punya – maka curah
hujan dan keaneka ragaman hayatinya tetap tidak sebanyak yang
dikaruniakan olehNya untuk negeri ini.
Dengan
semua karunia ini, mengapa bukan kita yang memimpin dunia dalam hal
kemakmuran ?. Inilah yang perlu kita renungkan dan inilah tantangan
besar kita semua. Barangkali kita selama ini tidak menyadari betapa
banyaknya karunia negeri ini, karena tidak menyadari maka tidak pula
mensyukurinya, kemudian karena tidak mensyukurinya maka nikmat itu
dicabutlah dari negeri ini.
Di negeri yang siang dan malamnya seimbang ini, musim kering dan musim hujannya-pun (dulunya) seimbang – kita
malah tidak bisa mencukupi kebutuhan kita sendiri. Kita masih harus
begitu banyak impor kebutuhan pokok mulai dari beras , gandum, susu,
daging dan entah apalagi.
Lantas
dari mana kita bisa mulai berbuat yang seharusnya untuk memakmurkan
negeri ini ? tidak ada yang lebih baik selain mulai dari diri kita,
mulai dari yang kita bisa. Mulai merubah mindset, bahwa
prestasi untuk negeri bukan ketika kita mencapai karir tinggi di
perusahaan asing, institusi asing atau kepentingan asing yang
meng-eksploitasi negeri ini. Prestasi adalah apabila kita bisa mengolah
dan memakmurkan bumi negeri ini untuk memenuhi kebutuhan minimal
penduduknya sendiri, syukur bisa untuk penduduk negeri lain yang tidak
seberuntung kita dalam hal kekayaan alamnya.
Prestasi
bukan ketika ekonomi tumbuh tetapi pertumbuhnya dari sector konsumsi
dari produk-produk yang harus diimport dari negeri lain, bukan pula dari
pengerukan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Prestasi harus
didasarkan pada produksi - setidaknya untuk menutup kebutuhan sendiri,
prestasi adalah ketika kita dapat mengolah alam secara berkesinambungan.
Inisiatif-inisiatif kecil sedang kita mulai, di Jonggol kita ada pilot project untuk ‘menangkap’ berkah air hujan,
di Blitar kita ada project penyiapan benih-benih pohon secara massal
yang nantinya bisa ditanam dimana saja yang membutuhkannya, di lereng
Merapi kita ada upaya untuk ikut membesarkan dan menyebarluaskan
pencapaian-pencapaian pakar Alfaafa Dr. Nugroho yang sudah sangat jauh mengembangkannya sejak beberapa tahun lalu.
Allah sedang berbicara kepada kita melalui ayat-ayat tersebut diatas , semoga kita bisa bener-bener mendengar firmanNya, memahaminya dan mulai berbuat yang seharusnya sesuai petunjukNya, InsyaAllah.
copas:www.geraidinar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar