JAKARTA
(salam-online.com): Tanggal 22
Juni adalah hari yang bersejarah. Piagam Jakarta ditandatangani. Inti dari
Piagam Jakarta adalah pelaksanaan syariah Islam bagi kaum Muslimin—sebagai
ganti republik ini belum menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Tetapi,
setelah itu kenyataan berbicara lain. Tanggal 17 Agustus 1945 yang
merupakan hari gembira bagi bangsa Indonesia karena diproklamirkannya
kemerdekaan, namun sehari setelah proklamasi, 18 agustus 1945, adalah hari
kelam bagi Umat Islam Indonesia. Pada hari itu kesepakatan antara umat
Islam dengan kelompok nasionalis dan Non-Muslim dikhianati.
Tujuh kata
yang menjamin penegakan syariat Islam di Indonesia dihapus. “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
berganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan
penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya disebut sebagai Piagam
Jakarta pun berubah drastis. Sebelumnya, para wakil kelompok Islam yang menjadi
anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha keras menjadikan Islam
sebagai Dasar Negara.
Perdebatan
alot terjadi sehingga lahirlah kompromi berupa Piagam Jakarta. Islam tidak
menjadi dasar Negara, namun kewajiban bagi para pemeluknya diatur dalam
kontitusi.
BPUPKI
kemudiaan menetapkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Naskah tersebut
di tetapkan sebagai Mukaddimah UUD.
Pada tanggal
7 Agustus BPUPKI berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
yang di ketuai oleh Soekarno. Piagam Jakarta bertahan sebagai
Mukaddimah UUD hingga 17 Agustus 1945, karena selang sehari kemudian
dipersoalkan oleh golongan Kristen, yang selanjutnya dibantu para
pengkhianat. Padahal A.A Maramis yang menjadi wakil Kristen di PPKI
sudah setuju dengan piagam tersebut dan ikut menandatangani.
Rekayasa
Politik
Suasana
Sidang Pembahasan Piagam Jakarta
Kronologi
penghapusan Piagam Jakarta cukup misterius. Pada tanggal 18 Agustus Moh. Hatta
mengaku ditemui oleh seorang perwira angkatan laut jepang. Katanya, opsir itu
menyampaikan pesan berisi “ancaman” dari tokoh Kristen di Indonesia timur. Jika
tujuh kata dalam Sila Pertama pembukaan (Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus, mereka
akan memisahkan diri dari Indonesia merdeka.
Hatta dan
Soekarno, yang memang termasuk kelompok sekuler, kemudian membujuk anggota
PPKI dari kelompok Muslim untuk menyetujui penghapusan tujuh kata itu. Di
antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang bersikeras tak mau. Menurut Ki
Bagus, itu berarti mencederai gentlemen agreement (Kesepakatan di
antara para pria terhormat) yang sudah mereka sepakati bersama. Soekarno
dan Hatta kemudian menyuruh Tengku Moh. Hassan (anggota PPKI dari Aceh) dan
Kasman Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah seperti Ki Bagus) untuk membujuk Ki
Bagus. Kasman-lah yang berhasil meyakinkan, terutama dengan janji syariat Islam
akan masuk kembali dalam dalam konstitusi daerah setelah MPR terbentuk enam
bulan kemudian. Dan, kenyataannya, Soekarno ingkar janji. Para pemimpin Islam
kena tipu mulut manisnya Soekarno. Jadi, kelak, itulah salah satu alasan utama
yang melatarbelakangi timbulnya perjuangan DI-TII pimpinan Kartosuwirjo.
Kelak Kasman
sangat menyesali peran dalam penghapusan tujuh kata tersebut. Ternyata hal tersebut berujung pada
nasib tragis umat Islam di Indonesia yang mayoritas tetapi tidak boleh menjalankan
syariat di dalam negeri sendiri. Kabarnya, Kasman Singodimedjo, selalu
menangis jika teringat perannya membujuk Ki Bagus.
Misteri
Opsir Jepang
Pertanyaan
pertama dan kedua agak sulit dijawab. Sampai wafatnya, Hatta tak pernah
membuka mulut siapa pemberi dan penyampai pesan itu. Ia mengaku lupa (atau
pura-pura lupa, ada juga dugaan itu fiktif, red) siapa nama opsir jepang
tersebut. Ada beberapa spekulasi yang menyebut bahwa pemberi pesan itu adalah
dr. Sam Ratulangi, tokoh krsten dari Sulawesi utara. Kini namanya diabadikaan
sebagai nama universitas di Manado.
Artawijaya, dalam Peristiwa 18 Agustus
1945: “Pengkhianatan Kelompok Sekuler Menghapus Piagam Jakarta”,
menguraikan beberapa teori yang mungkin bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama,
soal Opsir Jepang, Artawijaya mengambil teori Ridwan Saidi, seperti
dikutip dari Dr Sujono Martoesewojo dkk, dalam bukunya “Mahasiswa ’45
Prapatan 10”. Menurut Ridwan, anggapan bahwa ada opsir jepang yang datang
ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan
karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani
Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit,
dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira Opsir
Jepang oleh Hatta. (Ini aneh. Jika betul Hatta mengira Slamet sebagai
opsir Jepang, apa dia, Hatta, tidak bertanya tentang Slamet, kenapa bisa
langsung menyimpulkan sebagai opsir Jepang?)
Lalu untuk
apa para mahasiswa itu mendatangi Hatta? Menurut penelitian Artawijaya, pada
saat proklamasi 17 agustus 1945 dibacakan di jalan Pegangsaan 56, Jakarta, tak
ada satu pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu.
Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan,
mereka hadir dalam acara tersebut.
Kenapa tokoh
Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu?
Menurut
Artawijaya, para aktivis Kristen tengah sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi
dan lobi lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam piagam
Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan
bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari
sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa siang hari pukul 12.00
WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia timur, dr Sam
Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan
ditemani dua orang aktivis mahasiswa. Mereka keberatan dengan isi Piagam
Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka, sangat menusuk perasaan
golongan Kristen.
Pada saat
itu Latuharhaary sengaja mengajak dr. Sam Ratulangi, I Gusti ketut Pudja,
dan dua aktivis asal Kalimantan timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili
masyarakat Indonesia wilayah timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke
kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan mengharap
isu ini juga menjadi tanggung jawab mahasiswa.
Kelompok
mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk
datang menemuinnya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis
Prapatan 10, Piet Mamahit dan Iman Slamet.
Setelah
berdialog Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Setelah dari Hatta malam itu juga para mahasiswa menelpon Soekarno
untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia timur.
Tokoh
dimaksud adalah dr. Sam Ratulangi yang sebelumnya mendatangi kelompok mahasiswa
Prapatan pada pukul 12.00 WIB, tanggal 17 agustus 1945. Ratulangi meminta
mereka untuk terlibat dalam penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore
harinya.
Berdasarkan
fakta tadi maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan Opsir Jepang,
yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi tentang piagam
Jakarata, Ridwan Saidi mengatakan, “Dengan segala hormat saya pada Bung
Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus piagam Jakarta saya harus
mengatakan bahwa ia berdusta.”
Sejarawan
Ridwan Saidi
Penelitian
Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell
University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius opsir
Jepang adalah dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an
astune Christian politician from Manado, north Sulawesi (Seorang politisi
Kristen yang licik dari Manado, Sulawesi Utara).
Jadi,
menurut teori Ridwan Saidi, Hatta menyembunyikan fakta bahwa yang ia temui
bukanlah seorang opsir Jepang. Bisa jadi yang ia temui dan disangka Opsir
Jepang adalah mahasiswa, Iman Slamet, yang fisik dan pakaiannya mirip orang
jepang. Sementara tokoh Indonesia timur yang membawa pesan itu adalah dr. Sam
Ratulangi. (Tapi andai pun benar opsir Jepang, memangnya kenapa, tetap tak ada
juga alasan untuk berkhianat, red).
Kaum
Islamfobia
Pendek
cerita, tujuh kata itu dihapus. Namun tak hanya itu, beberapa perubahan
terkait peran Islam dalam kontitusi juga danulir. Terkait pertanyaan
ketiga, benarkah Indonesia Timur yang mayoritas Kristen tak akan melepaskan
diri setelah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta?
Sejarah
kemudian membuktikan, kawasan yang menjadi modal klaim kelompok Kristen itu
ternyata tetap berusaha melepaskan diri dari naungan NKRI—meskipun tujuh kata
sebagai pengorbanan umat Islam itu sudah dihapus. Tapi, walaupun umat Islam
(khususnya para pimpinan dan toloh Islam) kala itu sudah dikhianati, dikadalin
dan ditipu, berikutnya tak jua mengambil pelajaran dari pengalaman pahit ini!
Pemberontakan
RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara membuktikan, tanpa tujuh kata
tentang Syariat Islam pun, kelompok Kristen memang tak betah bernaung di bawah
NKRI. Kelak kebencian itu menggelora lagi di kawasan yang sama. Sekian abad dimanja
Belanda sebagai warga kelas satu membuat kelompok Kristen tak sudi dipimpin
oleh Muslim.
Faktanya lagi, pada saat bangsa Indonesia masih
berpegang teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan yang memenuhi aspirasi kelompok
Kristen), toh orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu ternyata
tetap sangat kuat keinginannya untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Munculnya gerakan RMS, FKM, Kongres Papua, Papua Merdeka, adalah sebagai bukti.
Demikian pula, peristiwa Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi rebutan
posisi politik lokal menunjukkan sinyalemen tersebut.
Yang terjadi
pada tanggal 18 Agustus 1945 betul-betul tragedi hitam bagi umat Islam yang
berbuntut panjang di masa depan. Umat Islam tertipu atau ditipu, dikhianati dan
dibohongi! Tapi, sayangnya, dalam banyak peristiwa umat Islam negeri ini masih
juga tak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya. Kerap gagap, kegigit
lidah dan mudah jadi pecundang! Atau mengalah demi toleransi yang padahal
golongan lain (yang minoritas) itu pun tak pernah mau bertoleransi dengan umat
yang mayoritas ini.
Sebagai
contoh, umat Islam ingin melaksanakan ajarannya sendiri yang diatur melalui
Piagam Jakarta, lantas apa urusannya kelompok lain keberatan? Kenapa mereka
menolak umat Islam untuk melaksanakan syariat yang diatur dengan aturan yang
dibuat sendiri oleh umat Islam? Begitu pula dengan sejumlah Perda
yang mengatur umat Islam, kenapa harus sewot jika kaum Muslimin melaksanakan
ajarannya sesuai ketentuan dalam Perda itu?
Belakangan,
ketika sejumlah Perda yang mengatur pelaksanaan syariah untuk umat Islam
muncul, kelompok yang dulu menolak Piagam Jakarta, termasuk kaum sekuler dan
liberal saat ini, kembali sewot! Padahal, Soekarno sendiri dalam dekritnya, 5
Juli 1959, jelas-jelas menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45. Jadi,
jika sekarang umat Islam mengatur dirinya melalui Perda Syariah, itu sah-sah
saja, dan sangat sesuai dengan UUD ’45, karena Piagam Jakarta itu menjiwai UUD.
Itu, baru segitu,
kelompok yang sebenarnya tidak benar-benar berjuang untuk Indonesia merdeka
(karena mereka lebih suka dipimpin penjajah yang ideologinya sama), mereka sudah sewot
dan menusuk dari belakang. Nah, bagaimana jika umat Islam negeri ini menggugat
dan menagih janji diberlakukannya Piagam Jakarta atau Dasar Negara yang
berdasarkan Islam, sebagaimana janji Soekarno?
Sebab, walau
bagaimanapun, umat mayoritas ini berhak merealisasikan Piagam Jakarta—lantaran
penghapusan tujuh kata dan pengebirian kesepakatan lainnya dalam UUD 45 itu
adalah tidak sah. Piagam Jakarta itu sudah disepakati dan disahkan pada 22 Juni
1945, dan golongan Kristen, AA Maramis pun sudah tanda tangan!
Jadi, jika
Perda-perda Syariah itu dijalankan, sah-sah saja dan merupakan hak umat Islam
sebagai bagian pelaksanaan Piagam Jakarta. Sedang penghapusan tujuh kata itu
dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan wakil-wakil Islam yang bersama-sama
kelompok nasionalis-sekuler dan wakil dari golongan Kristen menandatangani Piagam
Jakarta pada 22 Juni 1945.
Karenanya,
sekali lagi, penghapusan tujuh kata itu tidak sah. Dengan demikian, Piagam
Jakarta itu sampai sekarang tetap berlaku. Apalagi disebutkan, UUD
45 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Sementara Dasar Negara Islam yang
dijanjikan belum jua diberlakukan, karena pengkhianatan, pembohongan dan
penipuan yang dilakukan terhadap umat Islam.
(Disunting
dan diperbarui kembali oleh salam-online.com dari Majalah An-Najah
Edisi 72).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar