Senin, 15 Oktober 2012

Anak Angkat Buya Hamka ke-200

Sosok tua tertatih-tatih —dengan ditopang dua penyangga di dua ketiaknya— melangkah pelan menuju masjid. Kaki yang satu sudah kurang mampu menyangga badan. Namun lantaran hatinya yang bergantung dengan masjid maka sampai juga di rumah Allah di pagi buta itu.
Di Kota Jakarta yang penduduknya padat dan mereka kebanyakan mengaku Muslim itu banyak pula yang badannya sehat segar bugar, namun di waktu subuh yang dijanjikan berpahala besar itu, mereka pilih melangsungkan tidur. Adzan berkumandang bersahut-sahutan dari arah sana-sini —hayya ‘alas shalah— ajakan untuk shalat, belum tentu orang-orang yang sehat segar bugar mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah.
Seharusnya mereka malu kepada Allah dan malu kepada sosok tua renta yang berjalan tertatih-tatih untuk memenuhi panggilan adzan untuk shalat itu.
Di masjid itu ada beberapa orang yang sudah tua, yang untuk berjalan ke masjid harus dengan aneka cara agar sampai. Dan ketika berada di shaf (barisan) shalat, maka terlihat ada beberapa orang yang tidak sanggup berdiri. Bahkan sujud pun tidak mampu lagi, maka hanya dengan isyarat. Namun mereka masih tetap menghadiri shalat berjama’ah di kota besar yang aneka macam manusianya ada di sana.
Satu persatu di antara mereka sudah wafat. Hingga masjid itu jadi saksi bahwa ketika orang itu masih hidup, sampai tenaganya hampir habis pun masih mendatangi shalat berjama’ah di masjid.
Di antara orang yang tertatih-tatih ke masjid dan tidak kuat berdiri di barisan shalat berjama’ah itu ternyata ada anak angkat Buya Hamka yang ke-200. Namanya Pak Rasyidin Kasim, asal Sumatera Barat.
Mungkin kalau ada orang yang sudah tua renta, berjalan pun sudah sulit, namun masih mau bertandang untuk berjama’ah shalat ke masjid, di balik itu ada kisah yang bisa diambil pelajaran. Pak Rasyidin ini pun punya banyak kisah hidup, karena memang sudah tua. Namun ada yang dapat dianggap istimewa. Karena berkaitan dengan Buya Hamka (1908-1981), seorang terkemuka di Indonesia, ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang pertama sejak didirikannya 1975, yang kemudian Buya Hamka mengundurkan diri karena tidak mau mencabut fatwa MUI tentang haramnya Ummat Islam menghadiri perayaan Natal. Tidak begitu lama setelah mengundurkan diri dari MUI karena mempertahankan fatwa haramnya natal itu kemudian Buya HAMKA pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981. Fatwa MUI tentang haramnya ikut Natal itu dikeluarkan di Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H/ 7 Maret 1981. Jadi jarak antara keluarnya fatwa, pengunduran diri dari MUI, dan wafatnya Hamka hanya antara Maret 1981 sampai Juli 1981.
Fatwa Haramnya Ucapan Selamat Natal
Fatwa MUI tentang haramnya mengikuti upacara natal, ringkasnya sebagai berikut:
Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
  1. Al-Qur`an surat Al-Kafirun ayat 1-6.
  2. Al-Qur`an surat Al Baqarah ayat 42.
Memutuskan
Memfatwakan
  • Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
  • Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
  • Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H
7 Maret 1981 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Ketua – Sekretaris
K.H.M SYUKRI. G – Drs. H. MAS`UDI
(Ringkasan dari FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA, sumber: http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=71).
http://www.nahimunkar.com/fatwa-haramnya-ucapan-selamat-natal/#more-4005
Kisah pengunduran diri Hamka dari MUI
Kasus fatwa MUI dan pengunduran diri Buya Hamka dari MUI, dikisahkan oleh putera Hamka yakni Rusydi Hamka sebagai berikut:
“Buya Hamka adalah seorang ulama yang tegas. Yang paling akhir adalah ketika diminta pemerintah untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum MUI, karena tidak mau membatalkan fatwa MUI yang menegaskan Natal Bersama haram hukumnya,” tegas Rusydi kepada Republika di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan Rabu (13/2) siang.
Sarjana Ilmu Publisistik ini mengungkapkan, sekitar tahun 1980-an ada permintaan dari daerah-daerah, dari para gubernur demi terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, karena itu perlu ada Natal Bersama seperti juga ada Idul Fitri Bersama. Kemudian MUI mengeluarkan fatwa yang menegaskan Natal Bersama itu haram, karena itu bagian dari ibadah.
Setelah fatwa MUI tersebut keluar, papar Rusydi, Menteri Agama waktu itu, Alamsyah Ratuperwiranegara meminta fatwa itu untuk segera dicabut. Buya Hamka tidak mau mencabut fatwa tersebut. Karena tetap pada pendiriannya, akhirnya Buya Hamka diminta mundur.
Kebetulan waktu itu ada undangan berkunjung ke Irak. Rusydi sendiri diajak berkunjung ke Irak. Sore hari ketika akan berangkat ke Irak, ia diminta untuk mengantar surat yang ditulis Buya Hamka hanya beberapa kalimat yang menyatakan ia mundur dari ketua MUI. ”Jadi, sebelum berangkat ke bandara kita mampir dulu ke kantor Departemen Agama untuk mengantar surat itu. Dengan senyum, beliau berkata, ‘Masak iya saya harus mencabut (fatwa) tersebut,” tandas Rusydi mengutip pernyataan sang ayah. (Rusdy Hamka : Belajar Istikamah dari Sang Ayah
by "KISAHKU" (TRUE STORY) on Sunday, May 2, 2010 at 5:35pm, http://www.facebook.com/note.php?note_id=418485127068
Di balik ketegasan Hamka
Kembali kepada seorang tua renta yang pada tahun 2011 ini dia masih berjama’ah shalat ke masjid dengan berjalan tertatih-tatih, ada kisah yang berkaitan dengan Hamka. Pak Rasyidin Kasim adalah saksi hidup yang mengalami kisahnya.
Pada perjalanan hidup Rasyidin Kasim, dia telah mengalami nikah lima kali, berganti-ganti karena bermasalah. Isterinya yang ketiga, menurut penuturannya, minta izin pulang ke Sumatera untuk berkunjung ke ibunya. Tapi kemudian ternyata tidak kembali-kembali lagi ke Jakarta, bahkan isteri itu nekat nikah di Sumatera, padahal belum cerai. Kasus ini sangat memukul Rasyidin. Hingga dia sehari-hari beri’tikaf di masjid Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta yang dipimpin Buya Hamka, saat itu tahun 1968-an.
Dalam kondisi gundah gulana, Rasyidin tekun di masjid tahun 1968-an itu. Menurut Islam, kalau seseorang dalam keadaan bermasalah, lalu jalan yang ditempuh itu hal-hal yang baik, maka insya Allah beruntung alias baik. Sebaliknya, kalau yang ditempuh adalah keburukan maka pertanda rusak. Sedang Rasyidin dalam hal ini menempuh yang baik, yakni justru beri’tikaf di masjid.
Dalam kondisi yang bingung lagi menderita itu, Rasyidin Kasim mengalami terpukul lagi yang sangat menyentak dirinya. Suatu sore, kenang Rasyidin, di masjid Al-Azhar tempat dia i’tikaf , setelah berjama’ah shalat ashar dan mereka sudah pulang, maka tinggal ada tiga orang. Buya Hamka, marbot, dan Rasyidin. Ketika marbot mau menggulung alas shalat di masjid, Buya Hamka bilang, orang yang satu… seraya Buya meletakkan telunjuknya dimiringkan di kening atau jidat. Lalu Buya Hamka keluar, pulang ke tempat tinggalnya yang tak jauh dari masjid. Rasyidin Kasim pun mengikuti ke rumah Buya Hamka, namun keburu pintu ditutup. Lalu Rasyidin ketuk-ketuk pintu dengan ucapan, “Assalamu’alaikum…”
Tidak ada jawaban.
Diketuk lagi pintunya, “Assalamu’alaikum…”
Tidak ada jawaban.
Diketuk lagi pintu, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh…”
Lalu pintu dibuka, ternyata isteri Buya Hamka.
Rasyidin bilang, saya ini bukan orang Jawa, saya orang Minang. Saya ingin mendendangkan pantun Maninjau (daerah Sumatera Barat). Lalu Rasyidin berpantun sejenak, kemudian minta izin dengan ucapan, “Mau ketemu Bapak Prof Dr Buya Hamka Ulama terkenal se-Indonesia.”
Isteri Buya menjawab, kalau beliau sudah masuk kamar ba’da ashar tidak bisa ditemui sampai maghrib.
Rasyidin menyahut, “Ya, kalau begitu kirim salam saja, ada salam dari ‘malaikat’ yang datang. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Lalu Rasyidin beranjak mau pergi. Tetapi tiba-tiba Buya Hamka keluar hanya pakai celana komprang (sampai betis) dan baju kaos serta tak berpeci hingga kelihatan botaknya, menurut penuturan Rasyidin.
Rasyidin berucap kepada Buya Hamka “Kalau saja Allah mencabut nyawa Buya Hamka ba’da ashar, ketika keluar dari masjid menuju rumah, maka langsung masuk neraka! Masa’ orang i’tikaf disebut gila!”
Mendengar ucapan gawat dari Rasyidin Kasim ini Buya Hamka hanya diam. Lalu Rasyidin meninggalkan tempat dan menuju ke masjid yang tak jauh dari rumah ini.
Di Masjid Al-Azhar Jakarta waktu maghrib tahun 1968-an itu Buya Hamka mengajar ngaji atau berfatwa sesudah shalat maghrib. Rasyidin yang sehari-harinya beri’tikaf itu senantiasa di belakang imam. Sebelum pengajian, Buya Hamka menarik Rasyidin untuk ke sampingnya. Lalu Buya Hamka mengumumkan bahwa Rasyidin Kasim ini diangkat jadi anak angkatnya yang ke-200.
***

Shubuh pertama setelah diangkatnya menjadi anak angkat, setelah shalat shubuh di Masjid Al-Azhar ini jama’ah telah pulang, tinggal tiga orang: Buya Hamka, Amiruddin Siregar sekretaris masjid, dan Rasyidin Kasim. Lalu Rasyidin berkata “Bapak Amiruddin Siregar dari Pusroh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini TNI) yang jadi sekretaris Masjid Al-Azhar, saya tadi malam ba’da maghrib telah diangkat oleh Buya Hamka sebagai anak angkat yang ke-200. Kami mohon itu dicatat dalam buku catatan masjid.”
Setelah itu Rasyidin diberi keleluasaan di Masjid itu, hingga boleh menempati satu kamar di antara kamar-kamar yang ada.
Kejadian itu sangat terkesan bagi Rasyidin. Dalam kisahnya, ada satu anak Rasyidin yang dia nasihati, bila jadi pemuda dan hatinya tergantung kepada masjid, maka Allah akan melindungi. “Al-hamdulillah, satu anak saya yang dulu saya nasihati itu kini senantiasa ke masjid,” ungkapnya bersyukur.
Tampaknya, anak yang dia nasihati itu bukan hanya gemar ke masjid di wilayah dekat rumahnya di Rawa Jati Jakarta Selatan, namun sampai membersihkan masjid hingga kaca-kaca di berbagai pintu masjid pun dibersihkan.
Pelajaran yang dapat diambil dari orang yang dulunya ketika terkena musibah lalu beri’tikaf di masjid ini mungkin berharga bagi siapa saja yang terketuk hatinya. Hingga akan malu dengan dia yang sudah tua renta tapi masih mau berjalan tertatih-tatih menuju rumah Allah (masjid), ketika diri kita segar bugar tetapi tidak mau berjama’ah shalat ke masjid.
Foto: al-riyadh.com dan klikberita.com (haji/nahimunkar.com).eramuslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar