Senin, 15 Oktober 2012

Sejarah dan Agenda Ekonomi yang Terlupakan

Tahun ini, genap sudah satu abad berdirinya salah satu organisasi modern Islam paling awal di tanah air. Ya, organisasi tersebut adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini berdiri untuk pertama kalinya di Bogor pada tahun 1909 (walaupun ada juga yang menyatakan 1905 sebagai tahun pendiriannya) oleh Tirto Adi Suryo. Agenda ekonomi yang diusung oleh organisasi ini menarik untuk dijadikan refleksi dinamika Islam di Indonesia dilihat dari aspek perdagangan.

Sejak awal masuknya ke Nusantara, Islam sangat akrab dengan dunia perdagangan. Data-data yang ada menunjukkan bahwa setidaknya para pedagang Muslim-lah yang pertama kali memperkenalkan Islam pada masyarakat lokal di Nusantara. H.J. de Graaf, seorang peneliti Belanda, dalam tulisannya yang berjudul ”South-East Asian Islam to the Eighteen Century” (dalam The Cambridge History of Islam), menyatakan bahwa proses penyebaran Islam di Indonesia berlangsung secara kronologis melalui tiga metode: melalui perdagangan, melalui dakwah para da’i dan sufi, dan melalui peperangan.

Adapun penyebaran Islam melalui dakwah para da’i dan sufi merupakan yang terbesar dan tercepat pengaruhnya. Sementara penyebaran melalui peperangan, walaupun juga dilakukan setelah berdirinya beberapa kerajaan Islam, bukanlah merupakan metode yang dominan dalam penyebaran Islam di tanah air.

Para pedagang Arab, Persia, dan lainnya telah aktif di perairan Nusantara sejak sebelum kemunculan Islam di Jazirah. Lahirnya Islam memberi dorongan tambahan bagi arus perdagangan yang sudah terjalin, mulai dari Laut Merah hingga ke perairan Cina Selatan. Para sejarawan belakangan ini cenderung menerima bahwa Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad pertama hijriah (abad ketujuh Masehi) melalui peran para pedagang Muslim, kita patut berterima kasih pada Almarhum Buya Hamka atas tersosialisasinya fakta ini ke publik.

Banyak berita dari kitab-kitab Arab, China, dan lainnya menyebutkan adanya komunitas pedagang Muslim yang datang atau menetap di wilayah Sriwijaya dan tempat-tempat lainnya di Nusantara sejak abad ketujuh Masehi. Sebagian pedagang Muslim ini menetap di Nusantara dan menikah dengan penduduk setempat. Walaupun pola penyebaran Islam melalui para pedagang ini berlangsung secara gradual dan lambat, namun ia menjadi pembuka yang penting bagi diterimanya Islam di wilayah kepulauan ini.

Karena hadir bersamaan dengan aktifnya perdagangan internasional yang menjadikan lautan sebagai jalur transportasi utamanya, masyarakat Muslim di Nusantara tumbuh pesat di wilayah pesisir. Di Jawa, kota-kota di pesisir Utara pulau itu, seperti Gresik, Demak, Jepara, Kudus, Cirebon, dan Banten, menjadi wilayah-wilayah Muslim yang menonjol. Islam dan perdagangan menjadi semacam arus budaya baru yang mengalir di denyut nadi Nusantara. Para penguasa kota-kota pesisir kemudian memutuskan untuk menganut Islam dan pada gilirannya kota-kota pesisir ini tumbuh menjadi kerajaan Islam yang kuat dan menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang sudah semakin lemah posisinya di pedalaman.

Islam dan perdagangan terus berkembang di wilayah-wilayah pesisir, terutama melalui peran para pedagang Muslim internasional, baik Arab, Persia, India, maupun China. Bagaimanapun, agaknya masih diperlukan penelitian tentang sejauh mana penduduk pribumi terlibat dalam perdagangan dan menjadi pedagang-pedagang yang penting. Kalaupun penduduk lokal belum terlalu aktif berperan dalam perdagangan internasional, ini karena kultur setempat yang cenderung patron-klien, tetapi hubungan pernikahan para pedagang asing dengan wanita-wanita setempat yang pada gilirannya melahirkan generasi pribumi yang baru, tentunya sedikit banyak mewarisi tradisi dan keterampilan berdagang ayah-ayah mereka.

Sayangnya, pusat Islam ini kemudian bergeser dari pesisir ke pedalaman, seperti yang berlaku pada Kerajaan Mataram Islam di Jawa. Pergeseran ini mengubah banyak hal: dari ekonomi perdagangan ke ekonomi pertanian, dari pola keagamaan yang berkarakter internasional menjadi cenderung sinkretis dan bercampur dengan kepercayaan lokal, dan juga tampaknya dari masyarakat yang lebih bersifat egaliter menjadi kembali ke pola hubungan yang bersifat patron-klien.

Melemahnya perdagangan Islam di Nusantara menjadi semakin serius dengan masuknya penjajah Eropa ke wilayah ini sejak abad ke-16. Semakin kuat cengkeraman penjajahan di Nusantara, maka semakin lemah pula aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh kaum Muslimin di Nusantara. Wilayah pesisir, sebagaimana ditulis G.H. Bosquet dalam A French view of the Netherlands Indies untuk kasus di Pulau Jawa, tetap didominasi Islam hingga abad ke-20. Namun, aktivitas perdagangan tidak pernah lagi menonjol sebagaimana pada abad ke-15/ 16 dan sebelumnya.

Kebangkitan Nasional

Setelah beberapa abad kekuasaan kolonial, kebangkitan Nasional menandai menyingsingnya fajar abad ke-20 di Indonesia. Kebijakan penjajah Belanda yang membuka peluang pendidikan bagi segelintir anak-anak elit pribumi telah ikut mendorong lahirnya generasi baru yang kemudian berperan dalam pergerakan nasional dan belakangan menuntut kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi modern bermunculan di kalangan pribumi, baik yang bersifat nasionalis sekuler, maupun yang berasaskan Islam. Uniknya, dari kalangan Muslim pribumi (dengan melibatkan beberapa pengusaha keturunan Arab), organisasi yang pertama kali muncul adalah sebuah organisasi dagang, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini belakangan berganti nama menjadi Sarekat Islam dan berkembang menjadi organisasi dengan jumlah anggota terbesar di tanah air.

Sarekat Dagang Islam berkembang pesat di Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya, khususnya di kalangan para pedagang batik. Haji Samanhudi, pemimpin organisasi ini sebelum digantikan oleh Haji Omar said Tjokroamninoto, juga merupakan pengusaha batik yang penting di Surakarta. Meningkatnya persaingan dengan para pedagang Cina menjadikan Sarekat Dagang Islam tampil sebagai organisasi yang membela kepentingan dagang pribumi dan Muslim. Ketika terjadi kerusuhan antara orang-orang Cina berhadapan dengan kalangan pribumi dan keturunan Arab pada tahun 1912, Sarekat Dagang Islam dituding terlibat di belakangnya.

Sayangnya, selain pembelaan kepentingan ekonomi yang berujung dengan konflik ini, kita tidak menemukan peran ekonomi SDI lainnya yang cukup menonjol. Dan dengan berubahnya SDI menjadi Sarekat Islam, dan dengan beralihnya kepemimpinan organisasi ini dari kalangan pengusaha, agenda organisasi ini menjadi lebih bersifat politik. Bukan hanya lebih bersifat politik dan gerakan massa, agenda ekonomi kelihatannya tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi Sarekat Islam pascatahun 1912. Organisasi ini memang masih tumbuh besar dan menimbulkan kekhawatiran bagi orang-orang Belanda. Namun, pada akhir tahun 1910-an Sarekat Islam disusupi komunisme dan kemudian mengalami perpecahan serius. Sejak perpecahan tersebut, pengaruh organisasi ini semakin menurun di pentas nasional.

Sarekat Islam bukan satu-satunya organisasi Islam yang mengawali sejarahnya dengan upaya pengembangan perekonomian umat. Nahdatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926 juga demikian. Pada penghujung tahun 1910-an, para pemimpin pesantren yang nantinya mendirikan NU membentuk beberapa organisasi, di antaranya Nahdatul Tujjar. Nahdatul Tujjar, yang secara bahasa berarti ’kebangkitan para pedagang,’ didirikan pada tahun 1918 oleh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama lainnya. Kegiatan perdagangan yang dimotori oleh organisasi ini terutama dilakukan dalam bentuk koperasi. Kemunculan organisasi ini mungkin sedikit banyak ditujukan sebagai respons terhadap munculnya ide komunisme.

Komunisme, yang tampil dengan gagasan ekonomi yang bersifat sosialis dan radikal, memang tengah marak di Jawa dan pulau-pulau lainnya pada masa itu. Apa pun alasan utama pendirian Nahdatul Tujjar, kita tidak mengetahui kiprah organisasi ini lebih jauh dalam membentuk para pengusaha Muslim ataupun membangun perekonomian umat. Jika Nahdatul Ulama yang muncul pada tahun 1926 bisa dianggap sebagai sebuah kebangkitan ulama pesantren yang memiliki peran signifikan di Indonesia hingga ke hari ini, termasuk dalam kancah politik tanah air, Nahdatul Tujjar rupanya tidak sampai menjadi suatu kebangkitan ekonomi dan perdagangan yang penting di Indonesia.

Sarekat Islam dan Nahdatul Ulama barangkali bukan satu-satunya organisasi pergerakan Islam yang memiliki gagasan dan peranan ekonomi. Namun demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa ini upaya membangun ekonomi umat belum mendapat porsi yang signifikan. Kebangkitan Islam pada masa pergerakan nasional telah melahirkan organisasi-organisasi penting, sekolah-sekolah Islam modern, surat kabar-surat kabar dan majalah, beberapa rumah sakit dan organisasi sosial. Namun, kita tidak menemukan kemunculan suatu organisasi perdagangan atau institusi ekonomi Islam yang bertahan lama dan terus berkembang. Agenda ekonomi umat kelihatannya masih berada di taraf yang reaktif dan segera terlupakan begitu kondisi-kondisi yang mendorong timbulnya reaksi tersebut – seperti ancaman ekonomi Cina ataupun gagasan komunisme – tidak lagi mengemuka.

Kita mungkin bisa sedikit membayangkan, sekiranya upaya pembangunan ekonomi Muslim pada masa itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, dengan visi yang jauh ke depan, dan terus dipertahankan dan dikembangkan, boleh jadi keadaan ekonomi umat pada masa sekarang jauh lebih baik. Tentu saja kita tidak perlu berandai-andai. Kita hanya perlu mengambil ini sebagai sebuah pelajaran dan segera memulai perbaikan dalam membangun kemandirian ekonomi umat sesegera mungkin. Dan pada akhirnya, kami juga berharap agar hasrat politik yang kuat, sekaligus juga cenderung jalan di tempat, dari segolongan kaum Muslimin Indonesia pada hari ini tidak sampai membuat mereka lalai dari mengembangkan agenda perekonomian umat yang kokoh. Agar ekonomi umat tidak terus menerus dikuasai oleh pihak-pihak selain mereka. [Kuala Lumpur, 16 November 2009/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar