Tahun
ini, genap sudah satu abad berdirinya salah satu organisasi modern
Islam paling awal di tanah air. Ya, organisasi tersebut adalah Sarekat
Dagang Islam (SDI). Organisasi ini berdiri untuk pertama kalinya di
Bogor pada tahun 1909 (walaupun ada juga yang menyatakan 1905 sebagai
tahun pendiriannya) oleh Tirto Adi Suryo. Agenda ekonomi yang diusung
oleh organisasi ini menarik untuk dijadikan refleksi dinamika Islam di
Indonesia dilihat dari aspek perdagangan.
Sejak awal masuknya ke
Nusantara, Islam sangat akrab dengan dunia perdagangan. Data-data yang
ada menunjukkan bahwa setidaknya para pedagang Muslim-lah yang pertama
kali memperkenalkan Islam pada masyarakat lokal di Nusantara. H.J. de
Graaf, seorang peneliti Belanda, dalam tulisannya yang berjudul ”South-East Asian Islam to the Eighteen Century” (dalam The Cambridge History of Islam),
menyatakan bahwa proses penyebaran Islam di Indonesia berlangsung
secara kronologis melalui tiga metode: melalui perdagangan, melalui
dakwah para da’i dan sufi, dan melalui peperangan.
Adapun
penyebaran Islam melalui dakwah para da’i dan sufi merupakan yang
terbesar dan tercepat pengaruhnya. Sementara penyebaran melalui
peperangan, walaupun juga dilakukan setelah berdirinya beberapa kerajaan
Islam, bukanlah merupakan metode yang dominan dalam penyebaran Islam di
tanah air.
Para pedagang Arab, Persia, dan lainnya telah aktif
di perairan Nusantara sejak sebelum kemunculan Islam di Jazirah.
Lahirnya Islam memberi dorongan tambahan bagi arus perdagangan yang
sudah terjalin, mulai dari Laut Merah hingga ke perairan Cina Selatan.
Para sejarawan belakangan ini cenderung menerima bahwa Islam telah masuk
ke Nusantara sejak abad pertama hijriah (abad ketujuh Masehi) melalui
peran para pedagang Muslim, kita patut berterima kasih pada Almarhum
Buya Hamka atas tersosialisasinya fakta ini ke publik.
Banyak
berita dari kitab-kitab Arab, China, dan lainnya menyebutkan adanya
komunitas pedagang Muslim yang datang atau menetap di wilayah Sriwijaya
dan tempat-tempat lainnya di Nusantara sejak abad ketujuh Masehi.
Sebagian pedagang Muslim ini menetap di Nusantara dan menikah dengan
penduduk setempat. Walaupun pola penyebaran Islam melalui para pedagang
ini berlangsung secara gradual dan lambat, namun ia menjadi pembuka yang
penting bagi diterimanya Islam di wilayah kepulauan ini.
Karena
hadir bersamaan dengan aktifnya perdagangan internasional yang
menjadikan lautan sebagai jalur transportasi utamanya, masyarakat Muslim
di Nusantara tumbuh pesat di wilayah pesisir. Di Jawa, kota-kota di
pesisir Utara pulau itu, seperti Gresik, Demak, Jepara, Kudus, Cirebon,
dan Banten, menjadi wilayah-wilayah Muslim yang menonjol. Islam dan
perdagangan menjadi semacam arus budaya baru yang mengalir di denyut
nadi Nusantara. Para penguasa kota-kota pesisir kemudian memutuskan
untuk menganut Islam dan pada gilirannya kota-kota pesisir ini tumbuh
menjadi kerajaan Islam yang kuat dan menggantikan kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha yang sudah semakin lemah posisinya di pedalaman.
Islam
dan perdagangan terus berkembang di wilayah-wilayah pesisir, terutama
melalui peran para pedagang Muslim internasional, baik Arab, Persia,
India, maupun China. Bagaimanapun, agaknya masih diperlukan penelitian
tentang sejauh mana penduduk pribumi terlibat dalam perdagangan dan
menjadi pedagang-pedagang yang penting. Kalaupun penduduk lokal belum
terlalu aktif berperan dalam perdagangan internasional, ini karena
kultur setempat yang cenderung patron-klien, tetapi hubungan pernikahan
para pedagang asing dengan wanita-wanita setempat yang pada gilirannya
melahirkan generasi pribumi yang baru, tentunya sedikit banyak mewarisi
tradisi dan keterampilan berdagang ayah-ayah mereka.
Sayangnya,
pusat Islam ini kemudian bergeser dari pesisir ke pedalaman, seperti
yang berlaku pada Kerajaan Mataram Islam di Jawa. Pergeseran ini
mengubah banyak hal: dari ekonomi perdagangan ke ekonomi pertanian, dari
pola keagamaan yang berkarakter internasional menjadi cenderung
sinkretis dan bercampur dengan kepercayaan lokal, dan juga tampaknya
dari masyarakat yang lebih bersifat egaliter menjadi kembali ke pola
hubungan yang bersifat patron-klien.
Melemahnya perdagangan Islam
di Nusantara menjadi semakin serius dengan masuknya penjajah Eropa ke
wilayah ini sejak abad ke-16. Semakin kuat cengkeraman penjajahan di
Nusantara, maka semakin lemah pula aktivitas perdagangan yang dilakukan
oleh kaum Muslimin di Nusantara. Wilayah pesisir, sebagaimana ditulis
G.H. Bosquet dalam A French view of the Netherlands Indies untuk
kasus di Pulau Jawa, tetap didominasi Islam hingga abad ke-20. Namun,
aktivitas perdagangan tidak pernah lagi menonjol sebagaimana pada abad
ke-15/ 16 dan sebelumnya.
Kebangkitan Nasional
Setelah
beberapa abad kekuasaan kolonial, kebangkitan Nasional menandai
menyingsingnya fajar abad ke-20 di Indonesia. Kebijakan penjajah Belanda
yang membuka peluang pendidikan bagi segelintir anak-anak elit pribumi
telah ikut mendorong lahirnya generasi baru yang kemudian berperan dalam
pergerakan nasional dan belakangan menuntut kemerdekaan Indonesia.
Organisasi-organisasi modern bermunculan di kalangan pribumi, baik yang
bersifat nasionalis sekuler, maupun yang berasaskan Islam. Uniknya, dari
kalangan Muslim pribumi (dengan melibatkan beberapa pengusaha keturunan
Arab), organisasi yang pertama kali muncul adalah sebuah organisasi
dagang, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini belakangan
berganti nama menjadi Sarekat Islam dan berkembang menjadi organisasi
dengan jumlah anggota terbesar di tanah air.
Sarekat Dagang Islam
berkembang pesat di Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya,
khususnya di kalangan para pedagang batik. Haji Samanhudi, pemimpin
organisasi ini sebelum digantikan oleh Haji Omar said Tjokroamninoto,
juga merupakan pengusaha batik yang penting di Surakarta. Meningkatnya
persaingan dengan para pedagang Cina menjadikan Sarekat Dagang Islam
tampil sebagai organisasi yang membela kepentingan dagang pribumi dan
Muslim. Ketika terjadi kerusuhan antara orang-orang Cina berhadapan
dengan kalangan pribumi dan keturunan Arab pada tahun 1912, Sarekat
Dagang Islam dituding terlibat di belakangnya.
Sayangnya, selain
pembelaan kepentingan ekonomi yang berujung dengan konflik ini, kita
tidak menemukan peran ekonomi SDI lainnya yang cukup menonjol. Dan
dengan berubahnya SDI menjadi Sarekat Islam, dan dengan beralihnya
kepemimpinan organisasi ini dari kalangan pengusaha, agenda organisasi
ini menjadi lebih bersifat politik. Bukan hanya lebih bersifat politik
dan gerakan massa, agenda ekonomi kelihatannya tidak lagi menjadi
sesuatu yang penting bagi Sarekat Islam pascatahun 1912. Organisasi ini
memang masih tumbuh besar dan menimbulkan kekhawatiran bagi orang-orang
Belanda. Namun, pada akhir tahun 1910-an Sarekat Islam disusupi
komunisme dan kemudian mengalami perpecahan serius. Sejak perpecahan
tersebut, pengaruh organisasi ini semakin menurun di pentas nasional.
Sarekat
Islam bukan satu-satunya organisasi Islam yang mengawali sejarahnya
dengan upaya pengembangan perekonomian umat. Nahdatul Ulama (NU) yang
berdiri pada tahun 1926 juga demikian. Pada penghujung tahun 1910-an,
para pemimpin pesantren yang nantinya mendirikan NU membentuk beberapa
organisasi, di antaranya Nahdatul Tujjar. Nahdatul Tujjar, yang secara
bahasa berarti ’kebangkitan para pedagang,’ didirikan pada tahun 1918
oleh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama lainnya. Kegiatan perdagangan
yang dimotori oleh organisasi ini terutama dilakukan dalam bentuk
koperasi. Kemunculan organisasi ini mungkin sedikit banyak ditujukan
sebagai respons terhadap munculnya ide komunisme.
Komunisme, yang
tampil dengan gagasan ekonomi yang bersifat sosialis dan radikal,
memang tengah marak di Jawa dan pulau-pulau lainnya pada masa itu. Apa
pun alasan utama pendirian Nahdatul Tujjar, kita tidak mengetahui kiprah
organisasi ini lebih jauh dalam membentuk para pengusaha Muslim ataupun
membangun perekonomian umat. Jika Nahdatul Ulama yang muncul pada tahun
1926 bisa dianggap sebagai sebuah kebangkitan ulama pesantren yang
memiliki peran signifikan di Indonesia hingga ke hari ini, termasuk
dalam kancah politik tanah air, Nahdatul Tujjar rupanya tidak sampai
menjadi suatu kebangkitan ekonomi dan perdagangan yang penting di
Indonesia.
Sarekat Islam dan Nahdatul Ulama barangkali bukan
satu-satunya organisasi pergerakan Islam yang memiliki gagasan dan
peranan ekonomi. Namun demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa ini
upaya membangun ekonomi umat belum mendapat porsi yang signifikan.
Kebangkitan Islam pada masa pergerakan nasional telah melahirkan
organisasi-organisasi penting, sekolah-sekolah Islam modern, surat
kabar-surat kabar dan majalah, beberapa rumah sakit dan organisasi
sosial. Namun, kita tidak menemukan kemunculan suatu organisasi
perdagangan atau institusi ekonomi Islam yang bertahan lama dan terus
berkembang. Agenda ekonomi umat kelihatannya masih berada di taraf yang
reaktif dan segera terlupakan begitu kondisi-kondisi yang mendorong
timbulnya reaksi tersebut – seperti ancaman ekonomi Cina ataupun gagasan
komunisme – tidak lagi mengemuka.
Kita mungkin bisa sedikit
membayangkan, sekiranya upaya pembangunan ekonomi Muslim pada masa itu
dijalankan dengan sungguh-sungguh, dengan visi yang jauh ke depan, dan
terus dipertahankan dan dikembangkan, boleh jadi keadaan ekonomi umat
pada masa sekarang jauh lebih baik. Tentu saja kita tidak perlu
berandai-andai. Kita hanya perlu mengambil ini sebagai sebuah pelajaran
dan segera memulai perbaikan dalam membangun kemandirian ekonomi umat
sesegera mungkin. Dan pada akhirnya, kami juga berharap agar hasrat
politik yang kuat, sekaligus juga cenderung jalan di tempat, dari
segolongan kaum Muslimin Indonesia pada hari ini tidak sampai membuat
mereka lalai dari mengembangkan agenda perekonomian umat yang kokoh.
Agar ekonomi umat tidak terus menerus dikuasai oleh pihak-pihak selain
mereka. [Kuala Lumpur, 16 November 2009/www.hidayatullah.com]
49.81/4912. Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin 'Umar bin Hafsh Al Waki'i telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail telah menceritakan kepada kami bapakku dari Thalhah bin 'Ubaidullah bin Kariz dari Ummu Ad Darda' dari Abu Ad Darda' dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) yang berjauhan, melainkan malaikat akan mendoakannya pula: 'Dan bagimu kebaikan yang sama.'
Senin, 15 Oktober 2012
Sejarah dan Agenda Ekonomi yang Terlupakan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar