Senin, 15 Oktober 2012

Energi Alternatif dengan Biogas Rumah



Di Bali telah terbangun 230 unit reaktor biogas rumah memanfaatkan limbah ternak, sapi, babi, dan ayam
Terhitung sejak Agustus 2010, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Belanda dalam proyek pengembangan Biogas Rumah (Biru) sebanyak 500 unit. Proyek rintisan yang ditujukan di delapan kabupaten dan satu kota di Bali tersebut dijadwalkanberlangsung hingga 2012. “Saat ini sudah 300-an yang sudah menyala,” ujar I Gede Suarja, koordinator pengembangan BiruNusa Tenggara Barat-Bali.
Program biogas rumah tersebut merupakankerjasama antara Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) sebagai perwakilan dari pihak Indonesia. Sedangkan HivosRegional Office Southeast Asia (ROSEA) sebagai perwakilan dari pihak Belanda dengan dukungan teknis dari SNV (Belanda) sebagai penasehat teknisnya. Untuk pelaksanaannya, Hivos Bali bekerjasama dengan lima mitra kerja pembangun yakni Bali Organic Association (BOA), Yayasan IDEP, Manikaya Kauci, Sunari,dan CV MUM.
Saat ini di lapangan, jumlah reaktor Biru yang sudah dibangun selama 22 bulan programberjalan sebanyak 230 unit—termasuk39 unit diantaranya merupakan pemberian baik yang didukung oleh Hivos maupun dari dinas/instansi pemerintah terkait sepertiBidang Pertambangan dan Sumberdaya Mineral Bali, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Bali,Badan Lingkungan Hidup (BLH)Badung, BLH Gianyar, BLH Bali,dan Kementerian ESDM Jakarta.
Dijelaskan Suarja, program tersebut berupaya membantu masyarakat dalam mengolah limbah kotoran hewan menjadi gas yang ramah lingkungan melalui reaktor biogas rumah dengan model kubah beton (fixed dome model). Khusus di Bali menekankan pada pemanfaatan limbah ternak sapi, babi,dan ayam serta potensi lainnya.
Subsidi 30 %
Meski program sudah berjalan, diakui Suarja, program pengembangan Biruini masih mengalami berapa kendala. Diantaranya,masyarakat belum banyak yang sadar akan manfaat pengembangan program ini, lantaran hanya disubsidi sebesar 30%, sehingga permintaan pasar (masyarakat untuk berswadaya dana) masih sedikit. “Karena target pengembangan vektor biogastidak ada dukungan gratis. Instalasi ini bisamengolah limbah kotoran hewan menjadi gas yang ramah lingkungan dan bisadimanfaatkan masyarakat untuk memasak sampai dengan 12 jam per hari," imbuh Suarja.
Ukuran reaktor berkisar dari yang mampu menyediakan gas empat jam, enam jam, delapan jam, sepuluh jam, dan dua belas jam. Untuk reaktor yang mampu menyala dari empat hingga enam jam per hari, kata Suarja lagi,dibutuhkan biaya pembuatan Rp 6 juta, yang disubsidi hanya senilai Rp2 juta beserta pendampingan teknisnya.
“Program ini memang tidak diberikan kepada masyarakat secara gratis. Kami mengedepankan swadaya masyarakat. 30% kami subsidi beserta tenaga pengawas dan pendampingan teknis. Dan kami garansi peralatan itu bisa dipakai 15–20tahun,” ujar Suarja. Peralatan yang dimaksud meliputi kompor biogas, manometer, pipa gas utama, dan mixer.
Jika dihitung, lanjut dia, biaya yang diinvestasikan masyarakat pada saat awal setara dengan pembelian elpiji selama 2–3tahun. "Tetapi setelah itu masyarakat kan hitungannya gratis atau tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk kebutuhan energi memasak selama mereka masih memiliki ternak," ucapnya.
Untuk menyediakan energi yang menyala selama 6 jam, bisa dipenuhi dari kotoran ternak dua ekor sapi atau bisa juga enam ekor babi. Jika peternak ayam, itu tercukupi dari kotoran 200 ekor ayam petelur. "Kebutuhan reaktor disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah," ujarnya.Sebaran reaktor masing-masing kabupaten yaitu di Buleleng 18 unit, Bangli (56), Karangasem (7), Klungkung (16), Gianyar (61), Denpasar(2), Badung (40), Tabanan (21),dan Jembrana (8).
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi September 2012
trobos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar