Rabu, 24 Oktober 2012

Islam: Antara Toleransi dan Bertasamuh


 
semua program kalangan LSM di Indonesia merupakan paket sponsor


Oleh: Mohammad Ismail
WACANA kerukunan antar umat beragama bukanlah hal yang baru dalam ajaran Islam. Sejak agama Islam diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam nilai-nilai kerukunan sudah diajarkan dan diterapkan. Bukan hanya kepada sesama umat muslim. Bahkan kepada non-muslim pun Islam menjalin kerukunan.
Tapi, akhir-akhir ini, Islam justru disudutkan dengan berbagai macam tuduhan. Dan yang terbaru ialah “Islam bukan agama toleran” yang dilontarkan oleh LSI. Untuk itu, penulis merasa perlu menyikapi tuduhan tersebut. Adapun tulisan ini ingin mendudukkan toleransi dengan konsep tasamuh dalam Islam serta mencari benang merah perbedaan antara keduanya.
Beda Toleransi dan Tasamuh
Secara terminologi, kata “tolerance” (toleransi) sebagaimana dalam The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language (1996:1320) diartikan dengan menahan perasaan tanpa protes (to endure without protest). Artinya seseorang tidak berhak protes atas argumen orang lain, meskipun itu adalah gagasan yang salah dalam keyakinan. Inilah toleransi dalam pengertian Barat.
Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan toleransi dengan istilah “tasamuh”. Dalam kamus al-Muhit, Oxford Study Dictionary English-Arabic (2008:1120) istilah tasamuh memiliki arti tasahul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan.
Dalam pandangan Harun Nasution dalam Kamus Lengkap Islamologi (2009), toleransi meliputi beberapa hal. Di antaranya yaitu : Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Artinya, Harun percaya bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam Islam, melainkan kebenaran juga ada dalam agama selain Islam. Selain itu, toleransi menurut Harun  berarti upaya membina rasa persaudaraan se-Tuhan.
Definisi Harun di atas sangat sarat akan aroma paham pluralis. Pertama, Harun ingin merelatifkan nilai kebenaran itu sendiri. Gagasan Harun ini bukanlah hal yang baru. Ia mengekor dengan ide John Hick, yang menganggap kebenaran itu relatif. Kedua, Harun juga ingin menyamakan Tuhan agama-agama. Dalam hal ini ia terpengaruh oleh Frichof Schuon yang percaya akan Tuhan agama-agama yaitu “The One”.
Lain halnya dengan Dr Yusuf al-Qaradhawi dalam Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami yang memaknai konsep tasamuh dalam beberapa hal. Tasamuh adalah keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya. Selain itu, tasamuh juga berarti keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik.
Jadi, antara toleransi dalam pandangan Barat memiliki perbedaan mendasar dengan konsep tasamuh dalam Islam. Perbedaan tersebut terlihat dalam hal konsekwensi berkeyakinan dalam beragama. Toleransi ingin merelatifkan nilai-nilai kebenaran dalam beragama. Sedangkan tasamuh justru untuk meyakini akan kebenaran yang hanya berasal dari Allah Subhanahu Wata’ ala. Dari defenisi Qaradhawi ini saja ada perbedaan besar antara toleransi (dalam konsep Barat) dan Islam.
Islam Intoleran yang Tasamuh
Belum lama ini Islam kembali menjadi sorotan media massa. Kali ini Islam tidak sedang dituduh sebagai agama teroris. Tapi, Islam dianggap sebagai agama yang intoleran.
Statemen tersebut dilontarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Wacana itu merupakan kesimpulan dari hasil survei yang mereka lakukan pada tanggal 1-8 Oktober 2012. Kabarnya, survei tersebut dilengkapi dengan riset kualitatif, analisis media dan Focus Group Discussion (FGD). (antaranews.com)
Adapun survei tersebut menemukan bahwa publik (umat islam) tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama naik 8,2 persen dari 6,9 persen menjadi 15,1 pada survei tahun 2012. Ketidaknyamanan bertetangga dengan orang Syiah sebelumnya sebesar 26,7 persen sekarang naik 15,1 persen menjadi 41,8 persen.
Sementara mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Ahmadiyah naik sebesar 7,5 persen yang sebelumnya hanya 38,1 persen menjadi 46,6 persen pada 2012. Dan mereka yang tidak nyaman bertetangga dengan homoseksual pada 2005 hanya 64,7 persen kini menjadi 80,6 persen.
Artinya, bahwa mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam lebih menerima hidup bertetangga dengan orang yang beda agama daripada hidup bertetangga dengan orang Islam yang berbeda paham agama seperti Syiah dan Ahmadiyah. Jadi, muslim Indonesia sangat intoleran. Demikianlah kesimpulan dari LSI yang dimuat dalam situs resminya. (lsi.co.id)
Ini artinya, orang Islam Indonesia semakin sadar akan kebenaran agama Islam. Pasalnya, sample (muslim) bisa membedakan bahwa orang yang memiliki pemahaman berbeda dengan Islam (Syiah dan Ahmadiyah) adalah sesat dan menyesatkan. Akhirnya, mereka tidak mau hidup bersama mereka.
Dalam hal ini, wajar jika LSI mengatakan umat Islam (yang menjadi sample riset) itu intoleran. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa cara pandang menyikapi toleransi yang digunakan oleh LSI adalah toleransi model Barat yang tidak membedakan antara kebenaran dan kesesatan. Bagi Barat (yang akhirnya jadi pijakan LSI), semua harus ditolerir. Tentu akan berbeda hasilnya apabila LSI menggunakan kaca mata Islam (dalam hal ini konsep tasamuh) dalam menilai hal tersebut.
Sebagaimana disebutkan di awal, Islam memiliki konsep tasamuh atau (kemudahan). Saat LSI melakukan survei, sebenarnya umat muslim sedang menerapkan konsep tasamuh. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan penolakan terhadap kesesatan (Homosex/Lesbian, Syiah dan Ahmadiyah). Sikap ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami (1992:53-55) yang mengatakan bahwa dalam bertasamuh, Islam harus tetap mengedepankan tauhid.
Sebab, pada dasarnya, konsep bertasamuh dalam Islam mengandung konsep-konsep yang rahmatan lil ‘alamin. Di antaranya konsep yang mengikat makna tasamuh yaitu ar-Rahmah (Kasih Sayang), QS. Al-Balad : 17, al-Salam (keselamatan), QS. Al-Furqan: 63, al-Adl (keadilan) dan al-Ihsan (kebaikan), QS. al-Nahl : 90 dan al-Tauhid (Menuhankan Allah SWT), QS. Al-Ikhlas : 1-4. Dan inilah yang sedang dipraktekkan oleh sample (Muslim).
Ini berarti jelas bahwa masyarakat yang disurvei tidak sedang menerapkan toleransi ala Barat tapi mereka bertasamuh. Dan apabila itu tidak disadari oleh LSI maka itu menunjukkan bahwa LSI tidak berimbang dalam menilai data survei. Sebab, LSI telah menggunakan kaca mata Barat untuk menilai umat Islam yang hasilnya akan selalu negatif.
Penutup
Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa antara toleransi dan tasamuh memiliki perbedaan yang mendasar. Toleransi ala Barat merupakan sikap menahan tanpa protes meskipun dalam hal kebaikan dan kesesatan. Baik dalam hal bersosial maupun berkeyakinan.
Hal yang berbeda dengan Islam. Dalam hal bermasyarakat, Islam harus menerapkan konsep tasamuh. Artinya, Islam memberi kemudahan kepada orang lain yang tidak mengusik keimanan umat Islam.
Adapun sikap yang ditunjukkan oleh umat Islam yang disurvei –bagi penulis- adalah sudah sangat tepat dan harus tetap dijaga (bila perlu ditingkatkan). Sebab seperti itulah seharusnya hidup bertasamuh, yaitu tidak menjual tauhid dengan toleransi semu.
Jadi, prinsip toleransi yang menjadi pegangan LSI sangat bertolak belakang dengan prinsip tasamuh dalam Islam. Dengan demikian, menurut hemat penulis, jauh lebih baik bertasamuh dari pada bertoleransi. Dan satu hal yang tak kalah penting, masalah kerukunan antar umat beragama, Islam tidak perlu belajar dari Barat. Islam telah memiliki prinsip tersendiri yang tidak bisa diganti dengan model kerukunan agama lain yang selama ini terkesan mendikte kaum Muslim.
Sebagai penutup, penulis meminta kaum Muslim tidak perlu ragu. Selanjutnya juga menghimbau pihak LSI bisa bersikap adil dalam menilai sikap kaum Muslim. Itupun jika mau melakukan. Hanya saja, biasanya akan sulit. Karena biasanya semua survey dan program-program kalangan LSM di Indonesia sudah merupakan paket dari sponsor yang agendanya jelas bertolak-belakang dengan nilai Islam itu sendiri.  Wallahu a’lam bi al-shawab.*

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor
hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar