Senin, 15 Oktober 2012

Beternak Sapi Bonus Listrik


Biogas asal kotoran sapi dikonversi menjadi energi listrik, selama 3 tahun ini membuat terang kawasan pesantren di waktu malam dan mengisi kebutuhan listrik sehari-hari
Pagi itu belum terang tanah, seorang pekerja tampak sibuk membersihkan kotoran sapi di kompleks kandangpeternakan milik Pesantren Alam Saung Balong Al Barokah di daerah Palasah Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Kotoran sapididorongnya masuk ke dalam saluran berupa parit yang terhubung ke tabung beton dan fiber berukuran besar yang tertanam di tanah.
Dijelaskan oleh Koordinator Divisi Agro Saung Balong Al Barokah, Jajang Rukmana, kerjasama dilakukan dengan menggandeng LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dan pemanfaatan limbah peternakan sapi sebagai sumber listrik pesantren ini telah berjalan 3 tahun. Kapasitas daya yang dihasilkan, sebut  Jajang mencapai 15 – 20 ribu wattdan digunakan untuk penerangan komplek meliputijalan, rumah makan, asrama santri, masjid, kandang, rumah, dan kantor yang berada diatas lahan seluas sekitar 10 ha.
Jajang melanjutkan penjelasan, instalasi biogas terdiriatas 4 tabung terbuat dari fiber dengan volume masing – masing 6 m3 dan 2 buah tabung yang terbuat dari beton dengan volume masing – masing 750 m3. Gas yang dihasilkan dari digester sebelum menjadi bahan bakar genset disalurkan ke 10 plastik penampungan dengan kapasitas masing – masing antara 3 – 7 m3. Ia menambahkan, “Pemakaian listrik dari biogas ini dikontrol di 8 titik melalui meteran 900 watt dan adapula yang 1.300 watt.”
Secara teori, kata Jajang, 1 ekor sapi akan menghasilkan 15 – 20 kg kotoran per hari. Dan, dari 10 kg kotoran sapi dapat dihasilkan 1 m3 gas. “Sementara dari setiap 0,5 m3 gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk listrik 1.000 watt selama 1 jam,” jabardia. Jajang melanjutkan, untuk menghasilkan biogas yang diubah menjadi daya listrik secara berkelanjutan, tabung digester tiap hari diisi.
Kepala Divisi Program, Adin Wahyudin menambahkan, untuk menghasilkan gas, kotoran sapi dicampur air dengan perbandingan 1 : 10 (1 kg kotoran : 10 liter air). “Kalau sudah mahir, perbandingan itu bisa dikira – kira saja,” katanya.
Sedangkan penggunaan alat vacum sebelum gas masuk ke genset, kata Adin, dimaksudkan agar tekanan gas yang masuk ke genset bisa stabil. “Dari pengalaman ketika tidak memakai vacum, gas yang masuk ke genset tersendat – sendat,” ungkapnya.
Adin mengkalkulasi, investasi untuk membuat instalasi biogas terdiri atas tabung digester fiber kapasitas 9 m3 dan 1 buah genset untuk mengkonversi gas ke listrik sekitar Rp 17 juta. “Angka itu sudah termasuk biaya pekerja sampai instalasi bisa digunakan,” terangnya.
Integrasi yang Menguntungkan
Meskipun listrik dari biogas ini masih digunakan pada malam hari saja tetapi telah memberikan dampak positif bagi pesantren yang juga berfungsi sebagai agrowisata ini. Pemilik pesantren, Khoerumanpun mengakui, biaya listrik jauh lebih ekonomis. “Kalau sebelumnya tagihan listrik bulanan sampai Rp 3,5 juta, sejak menggunakan listrik dari biogas cukup bayar listrik Rp 1 juta per bulan. Artinya ada pendapatan secara tidak langsung,” sebut dia.
Ditambahkannya, di pedesaanpenggunaan biogas menjadi daya tarik tersendiribagi petani. Petani bisa memanfaatkan waktunya untuk beternak sapi, tidak hanya berkutat di sawah. Dan limbah kotorannya bisa menjadi sumber energi. “Kegiatan ini dilakukan pula untuk pemberdayaan masyarakat di lingkungan pesantren,” tutur Khoeruman.      
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi September 2012
trobos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar