Senin, 08 Oktober 2012

HMD DT.PALIMO KAYO Buya Datuk,

Profil Tokoh Ulama dan Adat
Diantara Seratus sepuluh nama tokoh ulama terkemuka Minangkabau yang didapati dalam daftar yang dirunut sejak pertengahan abad ke-19, bahkan pada masa sebelumnya sampai pertengahan abad ini, terdapat nama Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, atau dikenal dengan sebutan Buya Datuk Palimo Kayo. Nama yang erat kaitannya dengan dunia pendidikan Islam serta kepribadiannya yang kompleks, baik sebagai seorang ulama maupun penghulu di Minangkabau.
Deretan panjang nama ulama-ulama yang terentang dalam masa lebih dua abad itu merupakan realitas sejarah.
Sejarah menumbuhkan kearifan.  Mungkin kita hanya akan terpaku ketika melihat perjuangan para pendahulu itu sebagai romantika masa silam belaka.  Bukankah tujuan kiprah dan perjuangan mereka relatif sama berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh para ulama masa kini,  yakni menegakkan dinul Islam.
Namun ada sisi-sisi yang ternyata amat mengesankan bila kita mengungkapkan kembali khasanah masa lalu itu.
Langgam, gaya hidup, perjuangan dan dakwah para ulama dahulu itu ternyata berlainan antara yang satu dengan lainnya.
Ciri khas masing-masing ulama menunjukkan karakter dan kekukuhan pribadi. Sesuatu yang terasa semakin hilang pada masa kini.  Padahal sebenarnya apa yang kita anggap sebagai sejarah masa silam adalah bagian dari masa kini.
Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto (Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Mansur.
Orang tua berbahagia yang menyambut kelahiran putranya kala itu adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga, Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama.
Selain itu Syekh senantiasa berupaya agar semua anak-anaknya antara lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa’diah, Makmur dan Afifah  agar giat belajar.
Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan keluarga di sekitarnya.
CIKAL BAKAL PEMIMPIN UMAT
Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud sudah diberikan oleh ayahnya,  yang pekerjaannya memang memberikan pengajian dan ceramah-ceramah agama.
Besarnya perhatian dalam keluarga terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni Islam.

Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya, tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang  pemimpin Muslim sudah mulai terlihat.
Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912. Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutnya, beliau pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvernment School sampai tahun 1915.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917.
Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA)[1], sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.

KE MEKAH DAN MENGEMBARA SEMASA MUDA
Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923. Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun.
Tetapi, lantaran adanya perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke Indonesia.
Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek.
Suasana politik yang tak menentu, yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib, membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghindari.
Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapinya selama ini. Beliau belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow, India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin  perguruan tersebut langsung jadi pengasuh sekaligus pengajarnya.
Selanjutnya, H. Mansur Daud melanjutkan belajar agama pada Islamic College di Heydrabad, India. Dua bersaudara yang memimpin perguruan itu Maulana  Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali cukup dikenal, sehingga mereka dijuluki Two Brother oleh masyarakat. Serupa namanya, perguruan tinggi agama Islam yang mereka pimpin juga cukup dikenal oleh masyarakat, terbukti banyak murid yang datang dari luar India. H. Mansur Daud adalah salah seorang diantaranya.
Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut ilmu di India. Pengembaraannya buat sementara ke mancanegara usai. Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau Jawa.

AKTIFIS ORGANISASI
Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin.  Sejak bergabung dengan beberapa tokoh itu, beliau terpacu untuk berkiprah dalam organisasi.

Pada tahun 1930 Mansur Daud kembali ke Indonesia dari India. Aktivitas organisasi dimulainya kembali dan diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib, Bukittinggi. Ketika berlangsung Kongres I Sumatra Thawalib (22-27 Mei 1930) yang mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), Mansur Daud ditunjuk sebagai salah seorang anggota Pengurus Besar PMI. Pada Kongres I PMI di Payakumbuh (5-9 Agustus 1930), ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PMI. Pada Kongres II PMI di Padang (9-10 Maret 1931), yang memutuskan mengubah organisasi sosial ini men­jadi partai politik yang dikenal dengan nama Per­satuan Muslimin Indonesia (Permi), ia pun ditun­juk sebagai sekretaris jenderal partai ini. Permi, yang berada di bawah pimpinan tokoh-tokoh Su­matra Thawalib dan para bekas mahasiswa dari Cairo (seperti Mochtar Luthfi dan Iljas Jacoub) ini, memperkenalkan ideologi “Islam dan kebangsaan”.
H. Mansur Daud ikut  berperan dalam membentuk partai politik Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Pada tanggal 2 Desember 1932 Mansur Daud ditunjuk Permi sebagai ketua pelaksana Algemene Actie Protes Vergadering Permi, semacam tim perumus yang akan menyusun rancangan protes ter-hadap kebijaksanaan Belanda yang melakukan ordonansi sekolah partikelir, yang lebih dikenal dengan nama ordonansi “sekolah liar”.
Pada bulan Juli 1933 Permi melakukan sidang Pengurus Besar. Dalam sidang ini diputuskan bahwa Mansur Daud Datuk Palimo Kayo dipercaya menduduki jabatan ketua umum Permi sekaligus menjadi pemimpin umum majalah Permi yang bcrnama Medan Rakjat. Tetapi pemerintah Hindia Belanda melarang Permi melakukan pertemuan-pcrtemuan. Namun, larangan Belanda ini bagi Permi bukan halangan untuk bersidang.

Pada tanggal 10 Desember 1934, Mansur Daud ditangkap ketika mengkampanyekan rencana pro­tes yang telah disusun di Curup, Bengkulu, menyusul penangkapan pemimpin utama Permi, yakni H Jalaluddin Taib, H Iljas Jacoub, dan H Mochtar Luthfi. Ketiga tokoh ini kemudian dibuang ke Boven Digul. Datuk Palimo Kayo dipenjarakan di Bukittinggi. Tidak berapa lama kemu­dian ia dipindahkan ke penjara Suka Mulia di Medan. Ia baru dibebaskan dari penjara pada tahun 1935. Kemudian ia kembali ke Bukittinggi. Da­ri situ ia kemudian pergi ke Bengkulu, melakukan kegiatan dakwah pencarian dana pendidikan agama Islam untuk Sumatra bagian Selatan.
Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktivitas H. Mansur Daud.  Pada tahun 1942 ia kembali aktif dalam kegiatan organisasi. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordinasi alim ulama Minangkabau.
Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak Canduang, sedangkan Datuk Palimo Kayo menjabat sekretaris. Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat. Jepang yang berupaya menghapus organisasi seperti Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seolah luput mewaspadai Majlis Tinggi Islam. Tokoh-ulama  yang duduk dalam MIT sangat berpengaruh dalam sepak terjang pejuang ketika berhadapan dengan pihak Jepang kala itu.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, MIT se-Sumatra melaksanakan muktamar pertama. Semula berdiri, Badan Koordinasi MIT ini hanya untuk daerah Minangkabau, namun kemudian berkembang sehingga meliputi seluruh keresidenan di Pulau Sumatra.


Dalam muktamar ini disepakati untuk membentuk satu MIT Sumatra, dengan ketuanya Syekh Muhammad Jamil Jambek dan sekretarisnya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo. Dalam perkembangan selanjutnya, MIT memfusikan diri ke dalam Masyumi di Yogyakarta pada bulan Februari 1946. Masyumi di Sumatera pertama kali berkedudukan di Pematang Siantar, yang menjadi ibu kota Propinsi Sumatra ketika itu.
Pada tahun 1947, pemerintah pusat membagi Sumatra menjadi tiga propinsi, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Partai Masyumi pun membentuk pimpinan Masyumi untuk setiap pro­pinsi. Mansoer Doed Datuk Palimo Kayo pun ditunjuk memimpin Masyumi di Sumatra Tengah.

KIPRAH DALAM AGAMA DAN ADAT
Sejalan dengan kekalahan tentara Jepang, dan keberhasilan Bangsa Indonesia merebut kemerdekaan membuat segenap warga ingin mendarmabaktikan perjuangannya. H.Mansur Daud menggiatkan kiprahnya di bidang agama lewat dakwah dan ceramah di mesjid-mesjid. Ketika itu, Datuk Palimo Kayo muncul sebagai mubalig dan seorang tokoh Islam yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Upaya yang jelas dilakukan beliau adalah mendorong untuk membangun masjid, mushalla maupun sekolah agama. Hal terpenting, beliau sangat memperhatikan soal persatuan khususnya sesama alim ulama.
Dakwah yang disampaikan H. Mansur Daud, cukup didengar dan dihargai pendapatnya karena dinilai sebagai seorang mubalig yang istiqamah dan tetap eksis, terutama sejak M.I.T dan kemudian difusikan ke Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Buya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, tetap didahulukan selangkah, ditinggikan seranting oleh anak kemenakan. Diserahi posisi penting dalam adat sebagai seorang ninik mamak. Gelar adat yang kemudian dipangkunya adalah Datuk Palimo Kayo.
Posisinya dalam raad (Dewan) Nagari dimanfaatkannya untuk memusyawarahkan soal harta pusaka bersama ninik mamak. Beliau juga aktif melakukan upaya meningkatkan dan mensejahterakan masyarakat khususnya di Minangkabau.
Pada tanggal 2-4 Mei 1953 di Gedung Nasional Bukittinggi,  para pemuka adat Minangkabau yang melaksanakan musyawarah adat memilih Buya Datuk menjadi ketua umum Badan Permusyawaratan Adat Mi­nangkabau. Kemudian alim ulama dan mubalig se-Sumatra Tengah, dalam musyawarah mereka pada 20-21 Agustus 1953, sepakat membentuk Badan Permusyawaratan Alim Ulama dan Mubalig Islam Sumatra Tengah dan menunjuk Buya Datuk Palimokayo sebagai ketua umumnya.

SEMANGAT DAN PENGABDIAN
Kegiatan di bidang politik semakin membawa HMD Datuk Palimo Kayo menjadi tokoh teras melalui semangat dan pengabdian yang ia curahkan. Terbukti ketika dirinya dipercaya sebagai Ketua umum Masyumi wilayah  Sumatera Tengah.  Salah satunya karyanya adalah membentuk markas Perjuangan Hizbullah guna mewaspadai kembalinya penjajah, meskipun Bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Saat Masyumi mendapat tempat dengan keikutsertaan pada pemilihan umum pertama pada tahun 1955, HMD Datuk Palimo Kayo duduk di parlemen selama setahun sampai tahun 1956.

Ketika pemilihan umum pertama Indonesia berlangsung tahun 1955, Buya Datuk terpilih menjadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakjat. Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara mulai tampak. Pada tanggal 20 September 1956 ia ditunjuk oleh pemerintah menjadi duta besar RI untuk Kerajaan Irak sampai tahun 1960. Selesai tugasnya menjadi dubes RI di Irak, ia kembali aktif di Masyumi dengan menduduki ja­batan ketua umum Masyumi wilayah Jakarta Raya sampai partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Antara tahun 1961-1967 HMD Datuk Palimo Kayo aktif berdakwah dan menekankan peningkatan kemakmuran umat. Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Pada bulan Pebruari 1967 beliau ikut membidani berdirinya Dewan Da’wah Islamiah In­donesia Pusat dan ikut dalam jajaran pengurus bersama-sama dengan Bapak Mohamad Natsir dan kawan-kawan seperjuangan. Pada bulan Juni 1967 Buya Datuk Palimo Kayo ditunjuk sebagai koordinator Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia untuk daerah Sumatra Tengah yang meliputi daerah Su­matra Barat, Riau, dan Jambi, yang berkedudukan di Bukittinggi. Sejak itu ia mengabdikan dirinya di bidang dakwah dan berbagai kegiatan pendidikan Islam di Sumatra Barat.
Pada 3 Januari 1968, ketika Rumah Sakit Islam “Ibnu Sina” didirikan di Bukittinggi, ia ditunjuk pula sebagai ketua yayasan rumah sakit atau Yarsi Sumatera Barat, sampai beliau meninggal dunia.
Dalam musyawarah alim ulama se-Sumatra Barat tanggal 16-27 Mei 1968 di Bukittinggi, Datuk Palimo Kayo terpilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Sumatra Barat. Ketika itu belum ada MUI atau Majlis Ulama Indonesia.

Pada Mu­syawarah Majlis Ulama Sumatra Barat II, ia kembali ter­pilih menjadi ketua umum. Oleh Buya Hamka, kiprah Majlis Ulama Sumatera Barat ini minta diperluas menjadi Majlis Ulama Indonesia. Maka, pada waktu pembentukan MUI Pusat di Jakarta,[2] pada tanggal  26 Juli hingga 2 Agustus 1975, selain dikukuhkan sebagai ketua umum MUI Sumatra Barat, ia juga diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Bidang pendidikan turut jadi perhatian beliau. Bersama-sama  guru agama Islam  beliau melangsungkan rapat pada  17 Desember 1978. Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) berupaya mengembangkan dunia pendidikan yang selama ini dipandang sangat strategis melahirkan tokoh-tokoh besar.
Dalam rapat kerja MUI Sumatra Barat pada tahun 1980 ia ter­pilih kembali menjadi ketua umum MUI Sumatra Barat. Selanjutnya di tahun 1984, ketika beberapa tokoh dan cendekiawan muslim di Padang membentuk Yayasan Dana Pembinaan dan Pengembangan Islam (Yadappi), beliau juga dipercaya untuk memimpin yayasan yang bertujuan untuk membantu perguruan-perguruan Islam di Sumatra Barat di bidang dana itu.
Riwayat hidup HMD Datuk Palimo Kayo yang begitu sarat dengan segala bentuk aktivitas memang layak mendapat perhatian secara ilmiah. Kelangkaan akan keberadaan ulama sekaliber HMD Datuk Palimo Kayo kiranya jadi titik tolak untuk mengenang tokoh ulama ini.[3]
Sejumlah kalangan yang dekat, baik dari keluarga maupun sesama ulama sangat menghargai keberadaannya.
Kalangan akademik kemudian menjadikan sosoknya sebagai sumber tulisan ilmiah sekaligus mencermati kiprahnya sepanjang hayatnya.

Banyak pihak memberikan penilaian tentang eksistensinya. Mengutip Sastrawan sekaligus Budayawan AA Navis dalam tulisan Marthias D. Pandoe tentang Buya HMD Datuk Palimo Kayo,
“sebagai seorang ulama yang konsekuen  dengan pendiriannya walau apapun dihadangnya.  Imannya kuat,  tidak dapat dibeli dengan kedudukan maupun uang. Mungkin riwayat hidupnya yang penuh pengalaman itu menjadikannya tangguh”. [4]
Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil sekalipun.[5]
Dengan berbagai kegiatannya itu, khususnya sumbangannya kepada bangsa dan negara sebelum dan sesudah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada Mansur Daud Datuk Palimo Kayo sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. Pol. 16/II/PK tang-gal 20 Mei 1960, yang kemudian dikuatkan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. Pol. 103/63/PK tanggal 13 Juni 1963.

Setelah mengalami sakit beberapa hari, ia meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Dr. M. Jamil, Padang, dan dimakamkan di Pemakaman Tunggul Hitam Padang. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat selama-lamanya pada tahun 1988.
Namun selama hayatnya beliau tetap memacu semangat dan militansi Islam yang tak kunjung padam.
Catatan :
[1]       HAMKA adalah kependekan dari Haji Abdul Karim Amarullah, dikenal pula dengan sebutan Haji Rasul dan Inyiak DR. Abdul Karim Amarullah lahir di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, 10 Februari 1879 dan wafat di Jakarta tanggal 2 Juni 1945. Semasa kecil diberi nama Muhammad Rasul. Ibunya bernama Tarwasa, and ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang ulama besar pula. HAKA adalah seorang pembaru pemikiran Islam, ulama besar awal abad ke-20, dari Minangkabau, ayah dari Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Sebagai anak dari seorang ulama besar waktu itu, Abdul Karim Amrullah memulai pendidikannya dengan belajar agama di desa Sibalantai, Tarusan, Pesisir Selatan, diawali dengan belajar Al-Qur’an selama satu tahun. Pada usia 13 tahun ia belajar nahu dan saraf kepada ayahnya sendiri. Belajar di surau adalah bentuk pendidikan Minangkabau masa itu. Pelajaran selanjutnya ia terima di Sungai Rotan, Pariaman pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf selama dua tahun sampai menamatkan buku Minhaj at-Tallbin karangan Imam Nawawi dan TafsirJalalain.
Pada 1894 (usian 15 tahun), ia dikirim ayahnya ke Mekah untuk belajar ilmu aga­ma Islam dengan seorang ulama besar asal Mi­nangkabau, yaitu Syekh Ahmad Khatib Mi­nangkabau, yang saat itu menjadi guru dan imam Masjidilharam. Ia belajar kepada Ahmad Khatib selama tujuh tahun, bersama dengan putra-putra Minangkabau lainnya, di antaranya Muhammad Jamil Jambek dan Taher Jalaluddin. Di samping belajar dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, Muhammad Rasul juga belajar ke­pada beberapa guru, seperti Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yaman, dan juga kepada Syekh Yusuf Nabhani pengarang kitab “al-Anwar al-Muhammadiyah”. Di samping Syekh Ahmad Khatib, pemikiran keagamaan Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Syekh Muhammad Rasyid Rida juga membentuk pola pemikirannya.
Pada tahun 1901 Muhammad Rasul pulang ke kampungnya setelah menimba ilmu di Mekah. Pengaruh pemahaman gurunya Syekh Ahmad Khatib, membentuk Muhammad Rasul menjadi seorang yang radikal mengahadapi adat Minangkabau serta keras berhadapan tarekat-tarekat yang berkembang masa itu di Minangkabau, khusus Tarekat Naksyabandiah. Syekh Ahmad Kha­tib, gurunya, telah menulis beberapa buku yang mengungkap kekeliruan tarekat tersebut. Dan Muhammad Rasul telah menerima pendirian dan sikap gurunya ini dengan baik. Maka, Muhammad Rasul mencoba meluruskan praktek-praktek tarekat yang tidak ada dasarnya dalam Islam.
Perjuangannya cukup berat, karena ulama yang sepaham dengannya tidak terlalu banyak. Ulama-ulama yang berseberangan dengan cara dan pemikirannya termasuk pengikut ayahnya sendiri, seorang syekh dari Tarekat Naksyabandiah. Pertentangan pendirian antara ayah dengan anak tak dapat dihindari. Namun, Muhammad Rasul yang telah bergelar “Tuanku Syekh Nan Mudo”, tetap menjaga hubungan baik dan berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya si ayah yang mengetahui pendirian anaknya bangga karena anaknya telah menjadi seorang yang berpendirian, berani dan sulit dikalahkan tanpa hujjah yang sahih. Pertentangan dengan para penganut Tarekat Naksyabandiah inilah yang kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” di Minangkabau pada masa itu. “Kaum Muda” ini pada umumnya adalah murid-murid Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu Muhammad Rasul telah berganti nama menjadi H. Abdul Karim Amrullah.
Ketika disuruh ayahnya mengantar adik-adiknya, Abdulwahab, Muhammad Nur dan Muhammad Yusuf ke Mekah, Muhammad Rasul berkesempatan menambah ilmunya. Sebelum berangkat ia dikawinkan dengan Raihanah binti Zakaria, yang digelarinya sebagai “Raihanatu Qalbi” (Bunga Mekar Hatiku). Rasul mulai mengajar di rumahnya di Syamiah dan di Masjidil Haram dengan mengambil tempat di Bab al-Ibrahim. Namun, Ia tidak dibolehkan mengajar oleh Syaikh-al-Islam Mu­hammad Sa’id Babsil (Mufti Mazhab Imam Syafi’i). Maka, Rasul mengajar di rumah keponakan Syekh Ahmad Khatib. Di antara muridnya adalah Ibrahim bin Musa Parabek dan Muhammad Zain Simabur. Kedua murid ini kelak menjadi ulama besar di Minangkabau.
Musibah meninggal Istrinya setelah melahirkan anak yang kedua yang juga meninggal dunia di Sungai Batang, menyebabkan Muhammad Rasul kembali ke Minangkabau. Sete­lah mengerjakan haji tahun 1906, ia pulang ke kampungnya dan kawin dengan adik istrinya yang bernama Safiah. Dari perkawinan inilah pada tanggal 16 Februari 1908 lahir anaknya yang bernama Abdul Malik, yang kemudian hari menjadi seorang ulama besar Indonesia, yaitu Prof. Dr. HAMKA.
Setelah berdirinya Sumatra Tawalib, ide Haji Abdul Karim Amrullah ini diteruskan oleh murid-muridnya, seperti Abdul Hamid Hakim, A.R. Sutan Mansur, dan Zainuddin Labay El-Yunusy, dengan menerbitkan majalah al-Munir al-Manar pada tahun 1918 di Padangpanjang. Dalam lawatan ke Jawa pada tahun 1925, ia sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan. Kesan itu dibawa ke Sumatra Barat, bahwa Islam perlu diperjuangkan dengan sebuah organisasi. Perkumpulan yang ia dirikan sebelumnya dengan nama “Sendi Aman”, ditukar menjadi cabang Muhammadiyah di Sungaibatang, Maninjau.
Muhammad Rasul juga aktif dalam organisasi “Persatuan Guru-Guru Agama Islam”, yang didirikan H. Abdullah Ahmad pada tahun 1918. Pada tahun 1924 ia berdua dengan Abdullah Ahmad menjadi utusan kekongres kekhilafahan Dunia Islam di Cairo. Pikiran  bernas dan berani yang beliau ketengahkan mendapat perhatian besar dari Syekh Abdul Aziz asy-Syalabi. Setelah menyelidiki latar belakang dan riwayat hidup tokoh ulama Minangkabau ini, Syekh Abdul Aziz asy-Syalabi bersama Syekh Khalil al-Khalidi, bekas Mufti Palestina, dan Athaillah Effendi, menteri urusan awqaf negeri Irak, mengusulkan gelar “Doctor Honoris Causa” kepada kedua ulama Minangkabau ini, melalui munakasyah ditengah kongres Islam itu, Syekh Husain Wali yang juga adalah Syaikhul Al-Azhar menganugerahkan gelar Doktor Ilmu Agama kepada Dr. H. Abdul Karim Amrullah pada tahun 1926 dari Kongres Islam Sedunia di Cairo, Mesir.
Sebagai seorang yang memperjuangkan nasib rakyatnya, dia dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada 12 Januari 1941 dia ditahan dan dipenjarakan di Bukittinggi, dan Agustus 1941 diasing­kan ke Sukabumi. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942 ia pindah ke Jakarta. Muhammad Hatta, mengatakan bahwa beliau adalah ulama yang mula sekali menyatakan “Revolusi Jiwa” kepada Jepang di Indone­sia, karena melawan keharusan menghormati Tenno Haika dengan membungkukkan badan ke arah timur laut. Ketika anaknya HAMKA ingin membawanya pulang, ia menga­takan bahwa dia merasa senang tinggal di Jawa.
Pada tanggal 2 Juni 1945 beliau mengembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta. Pikiran dan perjuangan ulama besar ini ikut membentuk watak dan semangat perjuangan ulama-ulama muda Minangkabau, diantaranya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo.
[2]       Pada tahun 1975, ketika Majelis Ulama Indone­sia (MUI) berdiri, HAMKA terpilih menjadi ketua umum pertama dan terpilih kembali untuk periode kepengurusan kedua pada tahun 1980.
[3]       Sungguh layak riwayat  hidup beliau ditulis di tingkat perguruan tinggi seperti yang telah ada berupa “Biografi”, yang disusun Linda Fauzia dalam tugas akhirnya untuk meraih sarjana, dengan analisisnya “Buya Haji Daud Datuk Palimo Kayo: Profil Seorang Ulama dan Penghulu di Minangkabau.”, Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 1993.
[4]       Kompas, 26 Juli 1981.
[5]       Kenyataan tersebut penulis ungkapkan sebagai seorang mubalig yang dalam kesehariannya Buya Datuk sangat giat mensyiarkan Agama Islam sampai ke pelosok desa dan selalu penulis iringkan semasa hidup beliau di Bukittinggi mulai dari tahun 1967.hmasoed.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar