Senin, 08 Oktober 2012

Menjadi Beradab dengan Hijab


Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung sampai ke dadanya…(An-Nuur [24]: 30-31)
Islam adalah agama fitrah. Karena itu seluruh isi ajarannya tidak bertentangan dengan fitrah, bahkan melindungi fitrah manusia.
Islam memberi ruang yang cukup bagi fitrah manusia sebagai mahluk sosial untuk berinteraksi dengan sesama. Islam memberi pedoman agar interaksi tersebut dapat berjalan baik, bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai kemuliaan, sehingga manusia tidak terperosok ke dalam kebebasan semu yang justru sangat merugikan.
Salah satu tuntunan tersebut adalah berhijab, yakni tuntunan dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
Hijab berasal dari kata Bahasa Arab, yaitu hajaba, yang berarti menyembunyikan dari pandangan atau dinding pemisah. Sedangkan dalam konteks yang luas (hingga hari ini) hijab sering dikaitkan dengan menutup aurat bagi perempuan Muslim dengan kain yang disebut jilbab atau khumur (penutup).
Istilah dan syariat hijab ini memiliki landasan dalam al-Qur`an, antara lain:
…apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka… (Al-Ahzab [33]: 53)
Namun, aturan hijab ini sama sekali bukan untuk membelenggu gerak dan langkah manusia untuk bermuamalah. Justru sebaliknya, agar muamalah dapat berjalan lebih baik, terhindar dari fitnah, dan lebih menyucikan.
Prinsip yang mendasari aturan hijab ini, dalam ajaran Islam, disebut saddudz dzara’i (tindakan preventif) untuk menutup pintu-pintu maksiat dan kemudharatan, menghindari berhembusnya angin fitnah.
Tiga Pilar
Ada tiga pilar dalam syariat hijab, yakni menundukkan pandangan, menutup aurat, serta menghindari khalwat (menyendiri) dan ikhtilat (percampuran tanpa batas) antara lawan jenis dengan yang bukan mahram (orang yang haram dinikahi). Ketiga pilar ini dibebankan kepada kaum lelaki dan perempuan. Hanya saja dalam hal menutup aurat, aturan bagi wanita Muslim lebih ketat.
Pilar hijab pertama, menundukkan pandangan, dalam al-Qur`an diistilahkan dengan al-Ghadh-dhu minal bashar, artinya menjaga penglihatan dari pemandangan yang bisa menimbulkan rangsangan dan fitnah. Ini berbeda secara mendasar dengan al-ghadh-dhul bashar (tanpa min) yang berarti mengalihkan pandangan dengan memejamkan mata atau menundukkan kepala sehingga tidak bisa melihat sama sekali.
Ayat di atas, yang menjadi dasar perintah al-Ghadh-dhu minal bashar, mengatur agar setiap Muslim atau Muslimah dalam interaksi dan komunikasi hendaknya hanya melihat lawan jenisnya dalam batas-batas yang wajar , beradab, dan sopan. Melihat yang seperti ini, yakni tanpa disertai syahwat, hukumnya mubah (boleh). Tapi, jika disertai syahwat, maka hukumnya menjadi haram.
Menundukkan pandangan merupakan asas dari aspek hijab lainnya. Tidak ada artinya semua perintah hijab jika hal yang paling mendasar ini, tidak melembaga (menjadi nilai) dalam diri setiap pribadi Muslim. Itulah sebabnya, kewajiban menundukan pandangan ini dibebankan kepada kaum lelaki dan perempuan sekaligus.
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) tidak membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan dalam hal menundukkan pandangan, sebab fitnah itu bisa datang dari ke dua belah pihak.
Apa yang terkandung dalam perintah ini sebenarnya adalah pengendalian hati dan pikiran dari hal-hal yang negatif. Apalah artinya sekadar menundukkan pandangan jika hati dan pikirannya membayangkan hal yang bukan-bukan, yang dapat membawa kepada perbuatan negatif? Apalah artinya menundukkan pandangan jika imajinasinya mengarah kepada hal-hal yang berbau maksiat?
Pilar hijab kedua adalah menutup aurat. Bagi laki-laki, aturannya sangat sederhana, yaitu menutup anggota badan antara pusar hingga lutut kaki. Akan tetapi bagi wanita Muslim wajib menutup seluruh anggota tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Allah SWT berfirman:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab [33]: 59)
Selain itu, bagi para Muslimah juga masih ada ketentuan lainnya, yakni:
1. Pakaian yang dikenakan tidak boleh ketat sehingga memperlihatkan bentuk tubuh.
2. Tidak terlalu tipis atau transparan, sehingga memperlihatkan lekak-lekuknya.
3. Tidak menyerupai pakaian lelaki.
4. Tidak meniru pakaian wanita kafir.
5. Tidak menggunakan wewangian yang mencolok semerbaknya.
6. Tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas, yakni tidak menjadikannya untuk kesombongan, menarik perhatian orang lain, serta mencari popularitas.
Memang ada pengecualian, yakni mereka boleh menampakkan sebagian auratnya yang biasa dipakai untuk melekatkan perhiasan, yakni leher, telinga, rambut, tangan dan kaki serta jari, tapi itu hanya kepada orang-orang yang statusnya mahram saja. Mereka, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini, adalah:
…suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita… (An-Nuur [24]: 31)
Mengenai penegegasan Allah SWT pada kalimat ”wanita-wanita Islam”, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa terhadap wanita non Muslim, tetap tidak diperbolehkan memperlihatkan aurat tersebut.
Pilar hijab ketiga adalah menghindari khalwat dan ikhtilat. Berdua-duaan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram dilarang keras oleh Islam karena membahayakan iman. Lelaki dan perempuan boleh saling menyapa, berbicara, dan mendiskusikan suatu hal, hanya bila dilakukan lebih dari tiga orang dan di tempat umum, bukan berdua saja di tempat yang sunyi atau tertutup. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan (bukan Mahram) karena yang ketiganya adalah syetan. (Riwayat Abu Daud)
Di tempat umum pun tidak boleh sampai terjadi ikhtilat, yakni saling bercampurbaurnya perempuan dan laki-laki yang bukan mahram tanpa jarak dan batas, apalgi sampai bersentuhan. Mengapa? Karena hal ini juga berpeluang besar untuk menjerumuskan mereka kepada maksiat, yakni mendekati zina.
Mulai dari Keluarga
Dengan bekal pengetahuan tentang syariat hijab di atas, tidak ada alasan bagi para orangtua Muslim untuk tidak memberi perhatian yang lebih besar kepada putra dan putrinya. Ajarkan kepada mereka bahwa pacaran itu haram hukumnya dan karenanya harus dihindari. Jangan biarkan anak kita berboncengan antara lelaki dan perempuan, sebab hal ini sudah jelas-jelas masuk ke dalam kategori ikhtilat. Apalagi jalan-jalan berdua ke mall atau nonton film ke bioskop.
Sebagai orang tua, kita tidak bisa mengekang mereka. Sebab, mereka memiliki tangan dan kakinya sendiri. Yang bisa kita kendalikan adalah pikiran dan hatinya. Jika kita mampu mengendalikan pikiran dan hatinya, Insya Allah mereka tak akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang memprihatinkan.
Karena itu, mulailah budaya berhijab ini dari rumah kita. Ajarkan dan biasakan anak-anak akrab dengan hijab sejak kecil, dan jadikan mereka mencintai hijab. Hindari cara-cara memaksa, yang bisa jadi pada saat perkembangannya nanti anak-anak kita justru malah membenci hijab.
Sebenarnya mereka tidak benci kepada hijab, tapi mereka membenci cara-cara orang tuanya dalam memaksakan hijab. Ajarkan anak-anak berhijab dengan cinta, bukan dengan paksaan. Wallahu a’lam bish shawab.majalah.hidayatullah.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar