Jumat, 05 Oktober 2012

Dulu Berjasa, Sekarang Diperalat Intelijen?



 

Hidayatullah.com—Beberapa minggu ini, media didominasi pemberitaan seputar isu ‘pencucian otak’ dan Negara Islam Indonesia (NII). Dampaknya luar biasa, berbagai pihak langsung alergi terhadap simbol-simbol Islam. Tak hanya itu, beberapa pengelola perguruan tinggi sudah ada yang mengeluarkan larangan lembaga dakwah di kampus.  Alhasil, NII yang semula dilahirkan pendirinya sebagai sebuah cita-cita luhur untuk menerapkan syariat Islam, kini, tiba-tiba berbalik menjadi isu menakutkan; merampok, mencuri, dan hal-hal berbau teror. Ada apa sebenarnya? mengapa NII yang dulu berjasa menjaga teritorial wilayah Jawa Barat kini berimej buruk? Siapa NII yang asli, dan siapa yang hanya menumpang? Wartawan hidayatullah.com, Akbar Muzakki secara khusus melakukan riset pustaka selama beberapa hari. Inilah hasilnya;
***
Sebagai akibat ditandatanganinya persetujuan Renville 17 Pebruari 1948 oleh pemerintah RI (Kabinet Amir Sjarifuddin) dengan pemerintah Belanda,  maka pasukan militer RI harus ditarik dari kantong-kantong yang dikuasai Belanda.
Ketika pemerintahan RI diminta untuk hijrah ke Jogjakarta sebagaimana hasil perjanjian Renville. Maka ibukota negara RI pun berpindah ke Jogjakarta.
Sedangakan aparat keamanan dalam hal ini Tentara Republik Indonesia (TRI ) harus meninggalkan ibukota termasuk Divisi Siliwangi yang diandalkan pun hijrah ke Jogjakarta.
Meski TNI Devisi Siliwangi kala itu harus ditarik mundur dari Jawa Barat yang dikuasai Belanda dan hijrah ke Jawa Tengah yang dikuasai RI, pasukan gerilya seperti Hizbullah dan Sabilillah yang beroperasi di Jawa Barat tidak mau ikut hijrah ke Jawa Tengah. Sikap ini diambil karena dua pasukan pembela umat itu tidak setuju dengan Perjanjian Renville. Selain itu, pasukan ini tak ingin ada kekosongan wilayah.
AH Nasution dalam bukunya "Memenuhi Panggilan Tugas" menceritakan perjalanan melewati bukit-bukit dan lereng-lereng untuk bisa menuju ke Jogjakarta. Sementara di Jogja dibentuk panitia hijrah untuk penyambutan TRI yang diketuai Menteri Arudji Kartawinata.
Dalam perjalanan perjuangan tersebut AH Nasution juga meminta para ajengan Pak Embes (sebutan ulama di Jawa Barat) untuk bisa memberikan doa dan meminta agar Ajengan juga ikutserta dalam rombongan. Namun Ajengan tak mau. Bahkan AH Nasution meninggalkan beberapa pucuk senjata untuk keamanan mereka kelak. Ternyata benar, kampung tersebut diobrak-abrik Belanda.
Jawa Barat ahirnya kosong dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan tidak ada kekuatan pertahanan yang menjaga wilayah RI. Berdasarkan Perjanjian Renville, wilayah itu memang harus dikosongkan dari militer. Presiden dan Wapres bahkan telah pindah ke Jogjakarta, sementara teritorial militer juga harus dikosongkan.
Ketika kekosongan itu terjadi, SM Kartosoewirjo, yang kala itu sebagai komandan pejuang Hizbullah dan komondan pejuang Sabilillah tidak mau ikut serta meninggalkan teritorial tersebut.
Kemudian mereka melakukan pertemuan pada 10-11 Pebruari 1948 di desa Pangwedusan distrik Cicayong dihadiri pemimpin-peminpin Hizbullah, Gearakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Sabilillah. Sebagaimana disebutkan dalam buku “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” karya Abdul Qadir Djaelani, dalam pertemuan tersebut membuat keputusan terpenting adalah membekukan Masyumi di Jawa Barat, membentuk Majelis Islam atau Majelis Umat Islam dan mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Ketua Majelis Islam dipimpin langsung oleh SM Kartosoewiryo, Sekretaris oleh Supradja dan Bendahara dipegang oleh Sanusi Partawidjaja. Sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing.-masing oleh Toha Arsjad dan Abdulkudus Gozali Tusi. Adapun tugas Majelis Islam adalah melanjutkan dan memimpin perang gerilya melawan Belanda di daerah-daerah yang telah dilepaskan/hijrah TNI ke Jawa Tengah.
Sejak itulah Tentara Islam Indonesia (TII) berjuang keras menahan kehadiran tentara Belanda yang akan menguasai Jawa Barat. Pergerakan perjuangan TII dengan tentara Belanda pun akhirnya tak terelakkan.
Aksi militer Belanda kedua 19 Desember 1948, selain tertawannya Soekarno-Hatta melahirkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)  dengan presidennya Sjafruddin Prawiranegara di Padang mempunyai akibat-akibat lainnya.
TNI Divisi Siliwangi yang selama itu hijrah ke Jawa Tengah terpaksa harus kembali ke pangkalan asal di Jawa Barat. Sesampainya di Jawa Barat disambut oleh pamflet-pamflet yang dikeluarkan oleh Majelis Islam agar TNI bergabung dengan TII. Tetapi seruan itu ditolak oleh Siliwangi. Oleh karena itu Majelis Islam dengan TII-nya menganggap TNI Siliwangi sebagai ‘pasukan pengacau dan pembrontak’ yang memasuki wilayah kekuasaannya.
Insiden penting terjadi setelah itu 25 Januari 1949 di Antralina dekat Malangbong Garut. Sebagian staf Brigade XIV dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat, sempat terpisah dari pasukan yang mengawal mereka; dan sesampainyadi Antralina mereka ditangkap oleh kedua pihak (Siliwangi dan TII) sebagai hari dimulainya perang segitiga pertama di Indonesia antara TNI Siliwangi, TII, dan Belanda.
Dengan melihat aksi polisional Belanda kedua yang disebut agresi militer kedua dan gagalnya perjanjian Roem Royen yang memperburuk situasi politik dan keamanan RI dan masih ada usaha untuk mempertahankan RI untuk berdaulat.
Situasi di Jawa barat semakin rumit karena 4 kekuatan militer antara TII, TNI, KNIL, dan militer Pasundan saling bertempur. Akhirnya KNIL Belanda undur diri dari pertempuran setelah adanya persetujuan Roem Royen. Sedangkan militer Pasundan bergabung dengan TNI.
Ketika PDRI dan TNI kemudian menerima Roem Royen, Kartosoewiryo tetap menolaknya dan mendorong diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di desa Cisampang-Cigayong, Garut Jawa Barat. NII juga dikenal dengan sebutan  Darul Islam (DI) yang kemudian disingkat DI/TII.
Selain karena rasa kecewa terhadap negara yang dinilai semakin sekuler, Kartosoewiryo merasa kecewa dengan Perjanjian Renville karena Soekarno terlalu tunduk pada Belanda.
Al Chaidar, dalam buku “Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia (NII) SM Kartosoewirjo” mengatakan, meski kala itu perdebatan ideologi Islam masih belum final, Kartosowirjo berusaha menerjemahkan nilai-nilai al-Quran ke dalam bentuk-bentuk praktek birokrasi dan hukum negara.
“Mungkin jika ada yang mempraktekkan nilai-nilai keislaman, dia itu adalah Kartosoewirjo dan pejuang mujahidin sejati dalam Darul Islam, sementara umumnya masyarakat hanya mempraktekkan nilai-nilai ritual ibadah dan secara terbatas (bersifat individu) mempraktekkan syariah, “ tulisnya.
Hanya saja, kata Al Chaidar, pendirian NII –yang awalnya merupakan perjuangan suci karena sebuah cita-cita luhur yang diilhami ajaran Islam-- kemudian,  dimanipulasi sebagai “pemberontakan”
 

 

SEMENJAK ditandatanganinya “Perjanjian Renville” antara Pemerintahan RI dengan Penjajah Belanda, di mana salah satu kesepakatannya adalah berupa gencatan senajata dan pengakuan garis “Demarkasi Van Mook”, maka ini telah menjadi pil pahit bagi Indonesia, termasuk bagi Kartosoewirjo yang telah lama merasa berdarah-darah. Perjanjian yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menarik semua pasukannya dan mengakui beberapa wilayah yang dikuasi Belanda dinilai Kartosoewirjo sebagai sikap 'tunduk' pada penjajah kafir.
Ketika semua pasukan harus menarik diri dan pindah ke Jawa Tengah, sebagai konsekwensi Perjanjian Renville, Kartosoewirjo justru bersikap sebaliknya. Bersama Hizbullah dan Sabilillah –keduanya adalah salah satu sayap mujahidin dan kesatuan santri pembela tanah air— dan lebih memilih tetap tinggal untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah (Belanda).
Kekecewaan terhadap Perjanjian Renville ini bahkan sempat membuat Kartosoewirjo menyebut Amir Sjafroedin sebagai seorang ‘laknatoellah’ (yang dilaknat Allah) dan penghianat yang telah ‘menjual’ Jawa Barat serta sikap lemah Soekarno.
Sebagai sikap tegas penolakan Renville, maka 10 Januari 1948 bertemulah perwakilan para pejuang (mujahidin) yang mewakili sekitar 160 sayap organisasi Islam. Mereka adalah sayap santri yang telah menyerahkan tenaga, pikiran dan nyawanya untuk membela negara melawan penjajah kafir. Hadir beberapa komandan teritorial penting. Di antaranya; Sanusi Partawidjaja, Ketua Masyumi Daerah Priangan, Raden Oni, pemimpin Sabilillah Priangan, Dahlan Lukman, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Siti Murtaji’ah, Ketua GPII Puteri, Abdulullah Ridwan, sebagai Ketua Hizbullah Priangan dan Ketua Masyumi Cabang Garut, Saefullah.
Mereka bertemu di desa Pangwedusan distrik Cicayong untuk membentuk Majelis Islam atau Majelis Umat Islam dan akhirnya mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Ketua Majelis Islam dipimpin oleh SM Kartosoewiryo, Sekretaris oleh Supradja dan Bendahara dipegang oleh Sanusi Partawidjaja. Sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing.-masing oleh Toha Arsjad dan Abdulkudus Gozali Tusi. Adapun tugas Majelis Islam adalah melanjutkan dan memimpin perang gerilya melawan Belanda di daerah-daerah yang telah dilepaskan/hijrah TNI ke Jawa Tengah.
Sejak itulah Tentara Islam Indonesia (TII) berjuang keras menahan kehadiran tentara Belanda yang akan menguasai Jawa Barat.
Dalam buku “Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo”, karangan Al Chaidar (1999) disebutkan, ide pendirian TII ini murni karena sikap rasa juang para santri yang sesunnguhnya tidak mau tunduk pada tentara penjajah, akibat sikap ‘lemah’ pemerintah RI  yang mudah tunduk pada penjajah.
Sebagaimana dikutip Al Chaidar, tercatat ucapan penting Kamran, salah satu peserta pertemuan ini ingin agar Perjanjian Renville dibatalkan.
”Kalau pemerintah RI tidak sanggup membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini kita bubarkan dan membentuk lagi pemerintahan baru dengan tjorak baru. Di Eropa dua aliran sedang berdjuang dan besar kemungkinan akan terjadi perang dunia III, ja’ni aliran Rusia lawan Amerika. Kalau kita di sini mengikuti Rusia kita akan digempur Amerika, begitu djuga sebaliknja. Dari itu kita harus mendirikan negara baru, ja’ni Negara Islam. Timbulnya Negara Islam ini,jang akan menyelamatkan Negara.” (“Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo”, Al Chaidar, 1999)
Jelas sekali jika awal gagasan pendirian NII ingin menyelamatkan negara. Seperti diketahui, semanjak Indonesia dalam wilayah jajahan, banyak sayap-sayap milisi pejuang lahir untuk membela Negara. Apalagi karena Indonesia mayoritas Muslim, hampir semua organisasi Islam memiliki sayap militer. Sebagai bentuk bela Negara ini, ulama bahkan banyak berperan ambil bagian penting mensupport masyarakat melawan penjajah kafir hingga ke desa-desa.
Dalam buku “API Sejarah 2” (2010), karya Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan,  saat terjadinya protes sosial di Pesantren Sukamanah 18 Februari 1944 yang melahirkan resolusi politik dalam bentuk ‘jihad fi sabilillah’ yang dipimpin para ulama untuk menuntut Indonesia  Merdeka berdasarkan Islam.
Peran para mujahid (pejuang Islam) dalam membela kemerdekaan ini tak bisa dianggap kecil. Ahmad Mansur Suryanegara mengutip perbedaan kekuatan massa partai politik Islam Masyumi yang memiliki sayap militer bernama Laskar Hizbullah dan Laskar Fi Sabilillah.  
“Nampaknya, Soetan Sjahrir baru menyadari realitas kekuatan Partai politik Islam Indonesia, Masyumi. Memiliki massa pendukung partai yang konkrit dan sangat besar serta memiliki Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang sangat kuat. Kebesaran massa politik Islam Masyumi pada massa itu, dapat diukur dengan perbandingan massanya satu kabupaten saja, sama dengan massa partai non Islam lainnya untuk seluruh Indonesia.”
Umumnya para pejuang kemerdekaan adalah dimotori ulama dan para santri. Wajar jika besar harapan mereka Indonesia menjadi Negara Islam. Jadi ide dan gagasan seperti ini  sebenarnya bukan semata ada pada diri Kartosoewirjo. Bahkan ide seperti ini makin tajam taktala penentuan  Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar  1945.
Prof Dr Soepomo sempat menyampaikan pendapatnya soal ini:
“Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai  Negara Islam. Dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan Tuan Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang semisalnya urusan agama dan urusan Islam dengan perkataan lain, bukan Negara Islam.” (API Sejarah 2, 2010).
Lagi pula adalah hal yang wajar jika saat itu ada keinginan pendirian Negara Islam. Sebab, menurut Ahmad Masnyur Suryanegara, sebelum pendudukan tentara Jepang,  Nusantara Indonesia telah berdiri sekitar 40 Kesultanan Islam.
Tapi entahlah, mengapa dalam sejarah belakangan, kiprah para mujahidin dan pejuang kemerdekaan itu lebih ditonjolkan (tepatnya lebih diperkenalkan ke masyarakat) dari sisi pemberontakannya?  Dan mengapa pula di wilayah Nusantara yang dikenal memiliki banyak kesultanan Islam ini masyarakat sering ‘ditakut-takuti’ meski hanya untuk menyebut kata “Negara Islam”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar