Di
Lampung sekitar 23,4 % petani sudah menggunakan pupuk campuran
anorganik dan organik. Bahkan 6,62 % telah memanfaatkan pupuk organik
murni.
Pemerintah provinsi Lampung terus mendorong
petani menerapkan sistem pertanian organik untuk merehabilitasi lahan
kritis karena berpuluh tahun menggunakan pupuk kimia sintetis. Selain
itu, karena prospek pasar produk pertanian organik kian lebar.
Demikian terungkap pada pelatihan
kewirausahaan petani yang digelar CV Bangkit Jaya Abadi (Bangkit Tani)
bekerjasama dengan Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani)
di Bandar Lampung, Agustus lalu. Tampil sebagai pembicara, Ediyanto,
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi, Prof.
Wan Abas, Dekan Fakultas Pertanian UNILA, dan Wayan Supadno, formulator
pupuk organik hayati dari CV Bangkit Jaya Abadi.
Masih Banyak Tantangan
Pelatihan
yang diikuti 1.500 an petani dan penyuluh 14 Kabupaten/kota se Lampung
itu dibuka Ketua Perhiptani Lampung (juga wakil Gubernur Lampung) Joko
Umarsaid. Ediyanto menyatakan, di Lampung kegiatan dititikberatkan pada
tahap pengurangan input produksi anorganik dan pestisida kimia sintetis.
Saat ini dari 578.985 rumah tangga (RT) petani yang menggunakan pupuk,
sebanyak 23 % menggunakan pupuk campuran anorganik dan organik. Bahkan,
6,62 % memanfaatkan pupuk organik murni.
Untuk terus mendorong penggunaan pupuk
organik pemerintah mensubsidi pupuk organik, bantuan langsung pupuk,
pemberian alat dan mesin percontohan kepada petani, membangun rumah
percontohan pembuatan pupuk organik (RP3O), dan unit pengolah pupuk
organik (UPPO). “Adanya RP3O dan UPPO ini diharapkan dapat mendorong
tumbuh kembang industri pupuk organik di lingkungan petani,” jelas
Kepala Dinas.
Ediyanto
mengakui masih banyak tantangan dalam penggunaan pupuk organik karena
selama puluhan tahun petani terbiasa memupuk dengan pupuk kimia sintetis
sehingga perlu waktu guna mengubah kebiasaan tersebut. Selain itu,
dampak aplikasi pupuk organik memerlukan waktu lebih lama dan volume
yang besar. “Dan yang paling jadi pertimbangan petani adalah belum
adanya perbedaan harga antara produk pertanian organik dengan
non-organik di pasaran,” tambahnya.
Padahal potensi pupuk organik di pedesaan
melimpah, seperti jerami. Dengan produksi 2,94 juta ton gabah di
Lampung, berarti tersedia jerami dalam jumlah sama yang bisa digunakan
sebagai bahan pupuk organik. Lalu kotoran ternak (sapi/kerbau, domba dan
unggas), sampah dan sisa hasil panen. Untuk itu, pihaknya terus
mendorong gerakan tidak membakar jerami dan mengembalikannya ke tanah.
Saat ini contoh aplikasi sistem pangan
organik pada tanaman padi seluas 30 ha sudah dirintis Gapoktan Harapan
Jaya di Desa Tampang Tua, Ke. Pematang Sawa, Kab. Tanggamus, Lampung.
Gapoktan yang tergabung dalam Koperasi Konservasi Mitra Tani ini sedang
diproses sertifikasi oleh Indonesia Organic Farming Certification (Inofice).
Sementara Prof. Wan Abas mengatakan,
permintaan produk pertanian organik dunia sudah berkembang pesat, bahkan
pertumbuhannya 20 %/tahun. Pada tahun 2010, tercatat omzet produk
pertanian organik dunia mencapai US$100 milyar. “artinya terdapat
peluang pasar luar biasa yang bisa dimanfaatkan petani Indonesia.
Apalagi selama ini Indonesia sudah dikenal sebagai penghasil produk
pangan organik. Kini tinggal mengembangkan dan mensertifikasinya,”
ujarnya.
Sudah Kritis
Wayan
Supadno menambahkan, kondisi lahan pertanian di Idonesia kritis. Sebab,
selama ini aspek kimia saja yang diperhatikan, bahkan hanya tiga unsur
hara saja, yakni Nitrogen (Urea), Kalium (KCl), dan Fosfat (SP 36/TSP).
“Padahal tanah membutuhkan 16 unsur hara. Lalu yang 13 unsur hara lagi
dari mana?,” sergahnya.
Ciri-ciri lahan yang kritis bisa dilihat dari
ciri fisik dan kimia tanah. Dari ciri fisik, tanah keras, mudah kering
jika kena panas, mudah banjir bila kena air, lapisan humusnya tipis,
tidak gembur, tidak menahan air, dan tidak menyimpan udara. Dari sisi
kimia tanah, kadar C-Organiknya anjlok, kadar hara sangat miskin,
terlebih hara non-N, non-K, dan non-P. Lalu strain dan koloni
multimikroba sangat miskin, padahal penting untuk menghasilkan hara,
pestisida, hormon, reduksi kadar logam berat, dan kehidupan flora dan
fauna.
Akibatnya, tanaman yang dibudidayakan pada
lahan kritis semakin kerdil karena kurang hormon, rentan penyakit
lantaran miskin biopestisida alami. Lalu kebutuhan pupuk meningkat tapi
hasil menurun. Yang juga kurang dipedulikan adalah meningkatnya kadar
logam.
Solusinya, lanjut Wayan, lahan harus
diperkaya dengan bahan-bahan organik kadar C Organik tinggi,
multimikroba pengurai, penambat N, pelarut P dan K, pereduksi logam
berat, multimikroba biopestisida terkait dan penuhi multihormon sesuai
kebutuhan.
Untuk memenuhi bahan-bahan tersebut, petani
disarankan menggunakan pupuk hayati, yakni pupuk organik yang diperkaya
dengan mikroba yang bermanfaat, dapat meningkatkan efisiensi pengambilan
hara oleh berbagai tanaman dan meningkatkan hasil.
Selama ini, petani sudah banyak menggunakan
pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang. Namun jika pupuk ini
tidak dikomposkan secara sempurna akan berbahaya karena membawa berbagai
penyakit. Pengaruhnya terhadap tanaman pun juga kecil. Bahkan satu on
pupuk hayati lebih baik dibandingkan 10 ton pupuk kandang, sebab
pengaruh pupuk kandang hanya 5 %. Dibutuhkan mikroba untuk mengurainya
supaya menghasilkan C-Organik yang bisa dimakan tanaman.
Lalu untuk mengendalikan hama dan penyakit
digunakan pestisida hayati atau biopestisida, yakni pestisida yang bahan
utamanya bersumber atau diambil dari bahan hayati/ makhluk hidup,
seperti mikroorganisme, bakteri, cendawan, nematoda (cacing), atau
virus. Biopestisida dapat juga berasal dari berbagai jenis tanaman yang
mengandung kandungan spesifik dalam tingkah laku dan metabolisme
organisme pengganggu tanaman (OPT).
Selain itu juga bisa digunakan, pestisida
nabati, yakni pestisida yang bahan aktifnya dari tumbuh-tumbuhan,
seperti akar, daun, batang, atau buahnya. Zat kimia yang terkandung
didalamnya mempunyai bioaktivitas terhadap serangga, seperti bahan
penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant), penghambat perkembangan serangga (insect growth regulator) dan penghambat peneluran (oviposition deterrent).
Diantara tanaman yang bisa digunakan sebagai
pestisida nabati adalah daun papaya, mimba, bintaro, sereh wangi,
jengkol, kunyit dan gadung. Daun papaya ditebar dalam selokan di
sekeliling sawah untuk mengusir keong mas. Sementara mimba dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian hama (insektisida). Bahkan mimba juga
berfungsi sebagai fungisida, nematisida, bakterisida, maupun akarisida.
Sementara bintaro yang mengandung arsenik
bermanfaat mengusir ulat. Sereh wangi untuk mengusir serangga sehingga
baik ditanam di pinggir atau pematang sawah. Jengkol berguna mengusir
tikus sehingga baik ditanam pada kebun kakao. Kunyit berguna untuk
mencegah cendawan akar pada karet. Begitu juga kalupaga dan temulawak.
Menurut Wayan, pupuk hayati, biopestisida dan
pestisida nabati aman digunakan, tidak mengandung zat beracun bagi
manusia, ternak maupun lingkungan.bangkitttani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar