Di Jerman saat itu sedang digodog peraturan baru tentang asuransi kesehatan swasta yang mereka pandang selama ini berjalan kurang adil kepada para pemegang polisnya. Kita tahu di Jerman dan seluruh dunia (termasuk di Indonesia hingga saat ini), semakin tua seseorang akan membayar premi asuransi kesehatan yang semakin mahal – katanya karena faktor risiko yang semakin tinggi.
Tetapi
perusahaan asuransi (sengaja) lupa dalam satu hal, bahwa rata-rata
orang yang bekerja membayar premi asuransi kesehatan sampai 20 tahun
lebih – tanpa klaim , ini adalah rentang waktu rata-rata sejak orang
memasuki dunia kerja awal usia 20-an sampai usia awal 40-an, mayoritas
orang tidak pernah masuk rumah sakit di rentang usia ini.
Peluang
orang masuk rumah sakit menjadi lebih tinggi setelah usianya di
pertengahan 40-an keatas, maka disinilah perusahaan asuransi mengenakan
premi yang mahal itu. Sepintas nampak seolah logikanya benar, tetapi
logika ini di challenge oleh para pembuat peraturan di Jerman – yang mempertanyakan : "lantas dimana premi yang dibayar rata-rata orang sejak usia 20-an sampai awal 40-an tersebut ?".
Dari sinilah awal muawal-nya mereka menggodog peraturan yang tidak akan
lagi mengijinkan perusahaan asuransi kesehatan swasta negeri itu
menaikkan premi kepada nasabahnya – hanya karena nasabah tersebut
bertambah tua !.
Di
tengah kepusingan mengantisipasi peraturan yang baru tersebut, salah
seorang eksekutif perusahaan raksasa negeri itu mendengarkan ceramah
saya di Singapore tentang konsep ta’awun
dalam memikul biaya kesehatan yang bisa diterapkan di jaman modern
sekalipun. Bahwa perusahaan asuransi tidak seharusnya mengakui premi
yang dibayarkan nasabahnya sebagai pendapatan mereka. Premi tetap milik
nasabah mereka (secara bersama-sama) sampai kapanpun, hak perusahaan hanyalah fee atau ujroh atas pengelolaannya yang besarnya disepakati dengan nasabah di awal masa pertanggungan.
Maka selesai seminar, eksekutif tersebut
mendekati saya dan mengundang saya untuk menjelaskan konsep tersebut
lebih detil di negerinya - Jerman. Agar saya tidak menolaknya, maka
mereka memberikan penawaran yang luar biasa – yaitu atas kesediaan saya
ceramah satu jam di negerinya – mereka akan membayari tiket VIP World
Cup lengkap dengan layanan VIP sejak turun pesawat seperti yang saya
ceritakan di awal tulisan ini.
Terus
terang sebenarnya saya bukan penggila bola, saya penuhi undangan
tersebut juga bukan karena layanan VIP-nya. Tetapi yang menarik saya
waktu itu adalah mengapa orang-orang diluar Islam begitu antusiasnya
mempelajari detil tentang syariat ini dan bagaimana aplikasinya di
bisnis mereka. Sebelum di Jerman tersebut, beberapa kali saya juga
berkesempatan menceramahkan konsep ta’awun
di Lloyd of London – pusat keuangannya Inggris. Dari diskusi dengan
para eksekutif tersebut-lah saya tahu bahwa mereka sedang mencari solusi
atas masalah-masalah yang mereka hadapi, dan solusi ini bisa jadi
datang dari Islam.
Ironi
memang, disatu sisi sebagian mereka membenci Islam tetapi sebagian yang
lain mengakui keunggulan solusi-solusinya. Sehingga jangan heran
misalnya di beberapa negara yang Islam dibenci oleh sebagian rakyatnya,
(sebagian) pelaku ekonominya pada meng-klaim bahwa negeri atau kota
mereka-lah yang akan menjadi Islamic Financial Hub-nya
!. Bagaimana ini bisa dijelaskan ?. Bukan hanya para eksekutif yang
mendengarkan saya yang belajar syariat akhirnya - saya sendiri juga
belajar melihat syariat ini dari sudut pandang yang lain.
Sesuai janji Allah : “Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman” (QS 3 : 139), maka sesungguhnya apa-apa yang dihasilkan oleh ajaran Islam ini pastilah sangat tinggi nilainya.
Ekonomi
yang berdasarkan prinsip-prinsip nilai Islam misalnya, ia ibarat intan
berlian yang selama ini terkubur dalam-dalam oleh system ribawi,
kapitalisme, neoliberalisme dlsb. Bagi orang yang tahu bahwa ini
sesungguhnya intan berlian, maka dia berusaha menggosoknya tanpa lelah
sehingga bebas dari segala macam debu yang menutupinya, menggosoknya
terus sampai mengkilap menampakkan keindahan aslinya.
Setelah intan berlian tersebut benar-benar bebas dari debu-debu yang
menutupinya, maka siapapun yang melihatnya – baik dia muslim maupun non
muslim – semua bisa menikmati keindahannya, barangkali inilah salah satu
tafsir ...Rahmatan Lil – ‘Alamin itu....!.
Sejak
saat itulalah saya berpikir untuk terus menggosok intan berlian – intan
berlian berikutnya yang ada di sekitar kita yang masih begitu banyak
terkubur oleh debu riba, materialisme, kapitalisme dan konco-konconya.
Maka selain Dinar ada Project Gedebog Pisang, Kambing Putih, Bazaar Madinah
dlsb. Tetapi kemampuan saya terbatas, banyak sekali intan berlian-
intan berlian lainnya yang perlu digosok, dan inilah kesempatan Anda
untuk melakukannya juga.
Sulitkah
ini ?. ya nggak usah ambil yang sulit seperti program asuransi
kesehatan yang memerlukan teknik aktuaria yang sangat njlimet dalam
contoh tersebut di atas, ambil yang Anda bisa di lingkungan Anda dan
yang sesuai dengan bidang yang Anda kuasai. Untuk konkritnya, saya beri
contoh elaborasinya dari kasus pedagang imaginer penjual beras pak Abdullah yang saya perkenalkan ke Anda melalui tulisan saya tanggal 2 maret lalu dengan judul “Model Kemakmuran Para Pedagang...”.
Setelah Pak Abdullah membaca tulisan saya berikutnya tanggal 04 Maret 2011 dengan judul “10 Hal Yang InsyaAllah Mendatangkan Keberkahan Dalam Perdagangan...”,
pak Abdullah menjadi tahu bahwa salah satu penyebab yang bisa
menghilangkan keberkahan jual belinya adalah bila dia tidak ungkapkan
cacat barang dagangannya kepada para pembeli.
Sedangkan
dalam dunia perdagangan beras yang dijalaninya sehari-hari, amat sangat
sulit bisa mengetahui secara akurat beras apa yang sesungguhnya dia
jual. Beras dengan merek yang sama –pun ketika dimasak hasilnya bisa
lain. Beras begitu mudah di-oplos oleh pedagang perantara, sehingga
merek yang tercetak di karung begitu mudah dipalsukan dan tidak bisa
menjadi jaminan atas kwalitas beras yang ada di dalam karung tersebut.
Menjadi lebih sulit lagi karena para pembeli membeli beras tersebut masih dalam kondisi mentah – dengan utmost good faith (prasangka yang sangat baik)
- bahwa setelah dimasak nanti akan seperti yang diharapkan rasanya,
bagaimana kalau ternyata setelah matang rasanya tidak seperti yang
diharapkannya ?. Siapa yang salah ?.
Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui pak Abdullah karena kekhawatirannya akan kehilangan keberkahan dalam jual belinya. Maka
pak Abdulullah menelusuri asal-usul beras yang dijualnya,
mendokumentasikannya dengan rapi, kemudian secara maksimal
menginformasikan seluk beluk beras yang dijualnya tersebut kepada
seluruh pembelinya.
Lebih
dari itu agar calon pembeli memperoleh informasi yang sangat akurat
tentang beras yang akan dibelinya, pak Abdullah memasak satu piring dari
setiap jenis beras yang dijualnya setiap hari – kemudian menaruh
sepiring beras yang telah menjadi nasi tersebut diatas beras yang
dijajakannya – sebagai contoh. Dengan demikian calon pembeli bisa
mengetahui, ini mentahnya , kalau dimasak dengan benar , ini pula
matengnya ketika beras menjadi nasi.
Karena
akurasi informasi yang pak Abdullah sajikan tersebut-lah maka dia
menjadi pedagang beras yang insyaAllah tidak akan kekurangan pembeli
baik muslim maupun non muslim. Para pembelinya kini dapat melihat beras
‘intan berlian’ yang telah digosok secara maksimal oleh pak Abdullah,
bukan karena sekedar ingin laris dagangannya – tetapi lebih dari itu Pak Abdullah ingin agar jual beli yang dilakukannya mendatangkan berkah !.
Dengan
contoh elaborasi bagaimana seorang pak Abdullah pedagang beras bisa
menggosok ‘intan berlian’-nya ini, maka Anda-pun insyaAllah punya
gambaran yang akurat tentang bagaimana menggosok ‘intan berlian’ yang
ada di sekitar Anda. Setelah Anda melakukannya dengan sungguh-sungguh
dan dengan ikhtiar yang maksimal, maka kilauan ‘intan berlian’ tersebut
bukan hanya Anda yang bisa menikmatinya – tetapi masyarakat lain di
sekitar Anda-pun bisa ikut menikmatinya. Bisa bukan ?. InsyaAllah.
geraidinar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar